HAKIKATIBADAH; F0043. HAKIKAT IBADAH. Posted on Maret 31, 2012 by PISS-KTB. โ€ข Haji dalam syariat berziarah ke Baitullah, dalam thariqah berziarah kedalam tajalli nya Allah, dalam haqiqat fana (sirna) dengan Allah.. Group facebook ini bernama PUSTAKA ILMU SUNNI SALAFIYAH - KTB, selanjutnya disebut dengan PISS-KTB.
Islam Kaffah Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Ma'rifat Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., MA. - Secara umum ada tiga prinsip dalam beragama Islam yang pokok yaitu Islam, Iman dan Ihsan berdasarkan pada hadis sahih riwayat Muslim dari Umar bin Khattab -yang dikenal dengan hadits Jibril -dimana menurut Sayyid Bakari, trilogi itu merupakan kumpulan tahapan dan tingkatan yang saling terkait dalam mengamalkan islam, lebih-lebih oleh seorang salik. Hal itu dikaitkan dengan percakapan antara malaikat Jibril dan Rasulullah yang ringkasannya sebagai berikut Hai Muhammad. Beritahukan kepadaku apa itu Islam! Rasulullah Saw berkata โ€œIslam adalah Anda bersaksi tiada tuhan yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, tegakkan shalat, bayarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, laksanakan haji jika Anda mampu berjalan ke sana. Ia berkata Anda benar. Kami heran, ia bertanya kemudian ia membenarkan. Ia berkata lagi Beritahukan kepadaku apa itu Iman! Rasul menjawab Anda percaya kepada Allah, MalaikatNya, kitan-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir, dan anda beriman kepada qadar baik dan buruk. Ia menjawab Anda benar. Ia berkata lagi Beritahu aku apa itu Ihsan! Rasul berkata "Anda sembah Allah seolah-olah melihatnya, dan jika Anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihatmu." Fath al-Bari li Ibn Hajr, 125/1 Sayyid Bakari seperti ingin mengatakan, bahwa islam yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah syariat, iman adalah hakikat dan ihsan itu serupa ma'rifat, ketiga jenjang ini pada dasarnya adalah pengejewantahan dari makna takwa. Maka untuk mengamalkannya butuh tarikat dari seorang pembimbing mursyid. Agar tidak terjadi ketimpangan, maka ketiganya harus diterapkan secara keseluruhan, yakni syariat, tarekat, dan hakikat untuk mencapai puncak makrifat pengetahuan. Syariat tanpa hakikat adalah kosong dan hakikat tanpa syariat adalah batal serta tak berdasar. Jika dianalogikan, maka syariat itu ibarat perahu, tarekat adalah nahkodanya, hakikat adalah pulau yang hendak dituju dari perjalanan itu, sementara ma'rifat adalah tujuan akhir, yaitu bertemu dengan Sang Pemilik Pulau. Dengan demikian, hakikat dan ma'rifat tak akan mampu dituju oleh salik, tanpa menggunakan perahu dan melalui nahkoda. Karena itu menurut Sayyid Bakri, umat Islam tidak boleh terkecoh untuk mudah meninggalkan syariat atas nama hakikat atau ma'rifat. ูˆุงู„ู…ุนู†ู‰ ุฃู† ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูˆุงู„ุญู‚ูŠู‚ุฉ ูƒู„ุงู‡ู…ุง ู…ุชูˆู‚ู ุนู„ู‰ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูู„ุง ูŠุณุชู‚ูŠู…ุงู† ูˆู„ุง ูŠุญุตู„ุงู† ุฅู„ุง ุจู‡ุง ูุงู„ู…ุคู…ู† ูˆุฅู† ุนู„ุช ุฏุฑุฌุชู‡ ูˆุงุฑุชูุนุช ู…ู†ุฒู„ุชู‡ ูˆุตุงุฑ ู…ู† ุฌู…ู„ุฉ ุงู„ุฃูˆู„ูŠุงุก ู„ุง ุชุณู‚ุท ุนู†ู‡ ุงู„ุนุจุงุฏุงุช ุงู„ู…ูุฑูˆุถุฉ ููŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ูˆุงู„ุณู†ุฉ Artinya, โ€œMaknanya, tarekat dan hakikat bergantung pada pengamalan syariat. Keduanya takkan tegak dan hasil tanpa syariat. Sekalipun derajat dan kedudukan seseorang sudah mencapai level yang sangat tinggi dan ia termasuk salah satu wali Allah, ibadah yang wajib sebagaimana diamanahkan dalam Al-Qurโ€™an dan sunnah tidak gugur darinya,โ€ Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, Al-Haramain tt, h. 12. Sayyid Bakri mencontohkan shalat tahajud Rasulullah SAW sehingga kedua kakinya bengkak, karena aktivitas shalat malamnya semalam suntuk. Ketika ditanya, โ€œBukankah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan mendatang?โ€ Rasulullah menjawab, โ€œApakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?โ€ Maksudnya adalah kewajiban ibadah berlaku untuk memenuhi hak kehambaan dan hak syukur atas nikmat. Para wali dengan derajat kewalian mereka tidak pernah keluar dari batas kehambaan dan pihak yang menerima nikmat Allah,โ€ Sayyid Bakri 12. Jadi shalatnya Rasullah ini adalah bagian ibadah yang bisa dilihat dari sisi syariat. Syariat dan Hakikat Syariat adalah wujud ketaatan salik kepada agama Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Syariah adalah sisi praktis dari ibadah dan muamalah dan perkara-perkara ubudiyah. Tempatnya adalah anggota luar dari tubuh. Yang mengkaji khusus ilmu syariah disebut fuqaha ahli fiqih. Menurut Syekh Tajudin as-Subki, syariat adalah segala sesuatu yang ditanggungkan kepada seorang hamba. Sedangkan hakikat adalah inti dan makna dari perkara tertentu. Syariat berbasis fiqih, sementara hakikat berbasis iman. Dengan kata lain, syariat adalah pengejawantahan dari perbuatan-perbuatan fiqih, yang digali dari dalil-dalil secara terperinciโ€ Tajudin as-Subki, kitab jamโ€™u al-jawamiโ€™ 1/42 Relasi keduanya tak terpisahkan. Karena syariat harus diperkuat dengan hakikat dan hakikat dibatasi oleh ketentuan hukum syariat. Sehingga, keberadaan syariat seharusnya mampu mendorong komunikasi langsung "syuhud" antara seorang hamba dan khalik tanpa perantara apa pun. Ma'rifat dan Tarekat
Bagiorang yang dianugerahi ilmu hakikat dan makrifat, dan sudah mencapai maqom kasyaf, (mengetahui perkara ghaib) tidak boleh menyebarkan sembarangan, karena bila ilmu tersebut disebarkan sembarangan, cahaya dari ilmu hakikat dan makrifat itu akan hilang. Diibaratkan ada lima lampu di dalam rumah, apabila salah satu lampu itu padam, maka Oleh KH. Moch. Hilmi Ashiddiqi Di saat sekarang ini kita berada pada waktu ibadah haji. Yang mana waktu itu sudah jelas ditentukan oleh Allah swt, sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya QS al-Baqarah [2] 197,ุงู„ุญูŽุฌู‘ู ุฃูŽุดู’ู‡ูุฑูŒ ู…ูŽุนู’ู„ููˆู’ู…ูŽุงุชูŒ Ihram Haji dilaksanakan pada bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt yakni Syawwal, Dzulqaโ€™dah, dan Dzulhijjah. Dua dari tiga bulan tersebut merupakan salah satu dari asyhur al-Hurum empat bulan yang dimuliakan Allah yakni Dzulqaโ€™dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, lihat QS al-Taubah [9] 36. Hakikat haji adalah kembali menuju kepada Allah swt. Namun disimbolkan dengan menuju kepada Baitullah, sebagaimana dijadikan sebagai definisi haji secara bahasa. Sehingga orang yang menunaikan haji diharapkan kembali mendekat kepada Allah swt baik secara lahir maupun batin. Haji merupakan ibadah yang meliputi beberapa ritual atau lebih dikenal dengan sebutan manasik. Inti dari manasik haji ada pada wukuf di Arafah. Sebagaimana sabda baginda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, al-Nasaโ€™i, Ibnu Majah dari Abdurrahman bin Yaโ€™mur ุงู„ุญูŽุฌู‘ู ุนูŽุฑูŽููŽุฉู Sehingga orang yang berhaji, mau tidak mau โ€“meski kondisi fisik tidak mendukung- harus berada di padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hakikat wukuf di Arafah adalah mengenal diri sendiri dengan mengakui segala kesalahan dan dosa, sebagaimana akar kata Arafah yang berarti mengenal atau mengertiโ€™. Ketika seseorang sudah mampu mengenal dirinya, lambat laun dia akan mengenal Tuhannya, Allah swt. Ibadah haji merupakan sebuah bentuk peringatan terhadap sejarah perjalanan manusia. Bapak semua manusia, Nabi Adam as ketika ditetapkan untuk tinggal di bumi setelah berbuat kesalahan, ia terpisah dengan pasangannya Hawa. Keduanya terpisah saling mencari satu sama lain sampai ketemu setelah sebelumnya diajari oleh Allah swt kalimatโ€™ โ€“lihat QS al-Baqarah [2] 37- untuk mengenal dirinya dengan mengakui kesalahannya. Oleh karena itu Para Ulama menilai โ€œkalimatโ€ itu sebagai bagian dari sarana menuju Alloh dan doa yang berisikan pengakuan kesalahan dan permohonan ampunan dan rahmat-Nya. Doa itu tersurat dalam firman-Nya QS al-Aสปraf [7] 23, ุฑูŽุจู‘ูŽู†ูŽุง ุธูŽู„ูŽู…ู’ู†ูŽุง ุฃูŽู†ู’ููุณูŽู†ูŽุง ูˆูŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ุชูŽุบู’ููุฑู’ ู„ูŽู†ูŽุง ูˆูŽุชูŽุฑู’ุญูŽู…ู’ู†ูŽุง ู„ูŽู†ูŽูƒููˆู’ู†ูŽู†ู‘ูŽ ู…ูู†ูŽ ุงู„ุฎูฐุณูุฑููŠู’ู†ูŽ Seyogyanya hakikat haji ini tidak hanya dilakukan bagi jamaah haji saja, namun dianjurkan juga bagi kaum Muslimin di berbagai pelosok bumi. Kembali kepada Allah swt memohon ampun memperbanyak istighfar. Terutama doa Nabi Adam di atas dianjurkan untuk sering-sering dipanjatkan pada bulan Dzulqaโ€™dah. Semoga kita semua bisa berhaji secara hakiki, Amin. AFR Disadur dari pengajian kitab al-Ghunyah karya al-Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Masjid al-Hikam Depok, 29 Juli 2017 โ€“ 5 Dzulqaโ€™dah 1438
DinamakanSYARI'AT = Menyembah Allah Ta'ala dengan perbuatan, mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang oleh 23 Pecahan Syari'at, Tarikat, Hakikat Dan Ma'rifat Pengertian Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat; Pengertian Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat; Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat.
100% found this document useful 2 votes3K views75 pagesDescriptionSyariat, Tarikat, Hakikat Dan Makrifat..Copyrightยฉ ยฉ All Rights ReservedAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 2 votes3K views75 pagesSyariat, Tarikat, Hakikat Dan Makrifat..Jump to Page You are on page 1of 75 You're Reading a Free Preview Pages 7 to 9 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 13 to 23 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 30 to 38 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 42 to 47 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 53 to 71 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Thisis Ilmu Khodam can manifest as orbs, shadows and dark Unlike the Djinn, they are always good and beings higher in spiritual power, can always overcome problems caused by evil Djinn Ilmu khodam ini hitam atau putih, saya sendiri lebih suka menganggap ilmu khodam ini ilmu yang berada pada area abu abu dan ini saya membahasnya dalam kajian - Syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat adalah istilah yang ada dalam ilmu tawasuf atau sufisme agama Islam. Syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat merupakan empat tingkatan spiritual umum dalam menempati tingkatan pertama dalam ilmu agama Islam, sedangkan tarekat dan hakikat berada di atasnya. Sementara itu, makrifat yang menempati tingkatan keempat, merupakan inti dari wilayah hakikat sehingga terkadang tidak terlihat. Baca juga Tarekat-Tarekat yang Ada di Indonesia Namun, masing-masing tingkatan itu merupakan pondasi dalam jalan menuju Allah. Oleh karena itu, seseorang dinilai mustahil bisa mencapai tingkatan hakikat jika belum menguasai tingkat sebelumnya. Syariat Syariat adalah hukum dan aturan dalam agama Islam. Adapun hukum dan aturan tersebut bersumber dari kitab suci Islam, yakni Alquran dan Hadits. Kata syariat berasal dari Bahasa Arab, syarah, yang berarti hukum Allah SWT. Hukum Allah dalam syariat itu tidak dapat diubah, berbeda dengan fiqh yang mengacu pada interpretasi ilmiah manusia. Syariat kerap digolongkan sebagai tingkatan paling rendah dalam Ilmu Tasawuf, jika dibandingkan dengan tarekat dan hakikat. Meski begitu, para ulama menegaskan bahwa menegakkan syariat tetap penting dalam jalan menuju Allah. Sebab, jalan menuju Allah atau agar manusia berbahagia di akhirat meliputi tiga tahapan yang dimulai dari syariat, kemudian tarekat, hingga hakikat yang merupakan buahnya. Tarekat Tarekat atau thariqah dapat diartikan sebagai jalan atau metode untuk mendekat kepada Allah. Meski sama-sama berarti jalan, tetapi syariat dan tarekat memiliki makna memiliki makna sebagai jalan khusus atau individual dan merupakan fase kedua dalam perjalanan keagamaan Islam. Jika syariat dimaknai sebagai perintah Allah dan larangannya, tarekat merupakan perjalanan dan aplikasi dari syariat. Adapun ada banyak sekali aliran tarekat yang berkembang di dunia hingga saat ini. Beberapa aliran tarekat juga berkembang di Indonesia dengan banyak pengikut, seperti Qadiriyyah, Naqsyabandiyah, Rifa'iah, dan Samaniyah. Makrifat Makrifat merupakan tingkatan berikutnya dari Tasawuf setelah tarekat. Makrifat disebut pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dengan kata lain, makrifat diartikan sebuah tingkatan mengetahui Allah dari dekat. Seorang sufi yang telah mencapai tingkatan makrifat dinilai telah bisa melihat Allah melalui hati sanubarinya. Oleh karena itu, tingkat makrifat juga disebut sebagai bagian dari hakikat. Baca juga Benarkah Relief Candi Penataran Bukti Penaklukan Bangsa Maya? Hakikat Hakikat merupakan tingkat terakhir dari Ilmu Tawasuf. Hakikat adalah sampainya seseorang salik pada tujuannya, yakni makrifat kepada Allah. Hakikat juga diartikan sebagai buah dari perjalanan seseorang dalam mencari Allah. Para ahli tasawuf menyatakan bahwa tahap akhir Tasawuf ini adalah memahami hakikat-hakikat sesuatu, seperti rahasia Alquran serta ilmu-ilmu ghaib yang tidak mampu disingkap. Baca juga Mengenal Tarekat Shiddiqiyyah Aliran Tasawuf dari Jombang Referensi Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. IRCiSoD. diakses pada 13 Juli 2022 pukul WIB Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Haji adalah syariat dengan melaksanakannya di Mekkah. Rukun Islam yang kelima. Hakekatnya adalah muktamar internasional umat Islam. *** 4. Makrifat. Secara bahasa, makrifat artinya: ilmu dan pengetahuan. Secara istilah, makrifat artinya: memahami apa yang ada di balik yang zhahir. Mirip dengan hakekat. Hal ini berangkat dari adagium:

ArticlePDF Available Abstractp>Hakikat ibadah haji pada dasarnya adalah suatu tindak mujahadah upaya jiwa yang sungguh-sungguh untuk memeperoleh kesadaran musyahadah penyaksian. Yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai sarana bertemu liqaโ€™ dengan Tuhan. Ibadah Haji adalah simbol kepulangan manusia kepada Tuhan yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, niatkan haji hanya semata-mata karena Allah Swt. Pakailah pakain kejujuran dan buang jauh-jauh sifat keangkuhan, kebanggaan dan semua atribut label yang biasa melekat pada diri. Manusia harus menjadikannya titik orientasinya hanya kepada Allah QS. Al-Anโ€™am162- 163, sebagaimana yang digambarkan ketika sedang thawaf. Bahwa kita bagian dari seluruh jagad raya yang selalu tunduk dan patuh kepada Tuhan. Sekaligus gambaran akan larut dan leburnya manusia dalam hadirat Ilahi al-fanaโ€™fi Allah . Saat menyembelih kurban niatkan untuk menyembelih โ€œnafsu kebinatanganโ€ yang ada dalam diri. Sifat egoisme, dehumanisme, sifat kerakusan, keserakahan, ketamakan dan sifat-sifat buruk lainnya. Keberhasilan ibadah haji bukan dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya. Akan tetapi lebih ditentukan oleh kesadaran musyahadahnya kepada Tuhan. Karena musyahadah inilah yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial. Kesadaran yang demikian akan membentuk manusia yang arif . Yakni manusia yang mampu memberikan kesejukan, kecintaan, kebenaran dan keadilan di muka bumi sehingga mampu membersihkan dari unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus dan suci. Dengan demikian, keadilan kejujuran dan kemanusiaan sejati akan mudah tersemai di bumi. atpun selain daripada Allah, agar mereka Mahsyar adalah sebuah padang yang sangat panas dan menyengat, di mana manusia ditimpa perasaan resah dan gelisah, karena akan ditimbang kadar amal perbuatannya. Bagi orang yang timbangan amalnya buruk, mereka berharap bisa hidup kembali ke dunia untuk bersedekah dan beramal shaleh QS. Al-Mukminun[23] 99 - 106.๎†พ๎ˆผ๎†ท๎ˆฝ๎†ด๎ˆพ๎‡ฃ๎†พ๎ˆผ๎…ป๎€ƒ๎ˆผ๎‡ž๎ˆฝ๎†€๎€ƒ๎ˆบ๎‡€๎ˆผ๎†ต๎ˆพ๎†ด๎ˆผ๎…ผ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ท๎‡†๎…ฟ๎ˆพ๎ˆ˜ ๎‚‹๎€ƒ ๎‡†๎‡พ ๎ˆผ ๎…ผ ๎‚‹ ๎ˆฝ๎‡ ๎‰€๎…ผ๎ˆผ๎‡๎ˆผ๎…ฏ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ต๎†ธ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ๎†พ๎ˆน ๎ˆพ๎†‘๎†พ ๎ˆผ๎‡ง๎€ƒ ๎ˆฝ๎‡š๎ˆผ๎†ต๎‰€๎…ธ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ๎‡ ๎†ฆ๎†ด๎ˆผ๎†ฏ๎ˆผ๎…ฝ ๎‚•๎ˆ๎ˆ๎‚™๎€ƒ๎ˆพ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎†ฏ ๎ˆพ๎…ฑ๎‰€๎ˆค๎ˆš๎€ƒ ๎†ฆ๎ˆ›๎ˆผ๎ˆค๎€ƒ๎ˆผ๎ˆฒ๎†พ๎ˆผ๎…ป๎€ƒ ๎ˆฝ๎ˆ๎‰€๎‡ž๎ˆผ ๎‰€๎†“๎ˆš๎€ƒ๎ˆฝ๎‡› ๎ˆฝ๎†€๎ˆผ๎‡‹๎ˆผ๎…ฒ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ๎ˆผ๎ˆ”๎†พ ๎ˆผ๎…ฑ๎€ƒ๎ˆš๎ˆผ๎ˆฃ๎ˆพ๎ˆ˜๎€ƒ ๎‰™๎‡Ÿ๎‡†๎†„๎ˆผ๎…ฒ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚˜๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎…ฝ๎ˆผ๎ˆ”๎†พ ๎ˆผ๎†‰๎ˆผ๎†„๎ˆผ๎†๎€ƒ ๎ˆผ๎‡ฝ๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎ˆป๎‡Œ๎ˆพ๎†‚๎ˆผ๎…พ๎‰€๎‡ž๎ˆผ๎†๎€ƒ ๎‰€๎‡› ๎ˆฝ๎†ท๎ˆผ๎†ถ๎‰€๎†ธ๎ˆผ๎…ฎ๎€ƒ ๎ˆผ๎ˆ›๎†พ ๎ˆผ๎†‰๎…ฟ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ ๎ˆผ๎‡พ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ๎ˆพ๎ˆค๎‡ž ๎‡‡๎†ซ๎…ฝ๎ˆš๎€ƒ๎‡ ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ๎ˆผ๎‡Š๎ˆพ๎†ฑ๎ˆฝ๎…ฟ๎€ƒ๎ˆš๎ˆผ๎ˆฃ๎ˆพ๎†ผ๎ˆผ๎…บ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ง๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎†…๎ˆผ๎†ฏ๎‰€๎†ƒ๎ˆฝ๎†๎€ƒ๎ˆพ๎ˆณ๎‰€๎‡ž๎ˆผ๎†๎€ƒ ๎‰™๎‡Ÿ๎ˆผ๎…ฝ๎ˆพ๎ˆ˜๎€ƒ ๎ˆบ๎ˆก๎ˆผ๎ˆฅ๎‰€๎‡๎ˆผ๎…ฎ๎€ƒ๎‡› ๎ˆพ๎†ท๎ˆพ๎‡ฃ๎ˆš๎ˆผ๎ˆค๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎‡œ๎ˆพ๎…พ๎ˆผ๎ˆถ ๎‚จ ๎‡ ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ ๎‰€๎‡›๎ˆฝ๎†ท ๎ˆผ๎†‰๎ˆฝ๎†ฑ๎…ฟ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ๎ˆš๎ˆถ๎ˆฝ๎‡ ๎ˆพ๎†‰ ๎ˆผ๎…ณ๎€ƒ ๎ˆผ๎‡œ๎†๎ˆพ๎‡Œ๎‡†๎…ฝ๎ˆš๎€ƒ ๎ˆผ๎‡™๎ˆพ๎†‚๎‰™๎ˆฎ๎ˆผ๎…ฝ๎ˆถ๎ˆฝ๎†บ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ๎ˆฝ๎‡๎ˆฝ๎†ถ๎†๎ˆพ๎ˆฅ๎ˆš๎ˆผ๎‡ž๎ˆผ๎…พ๎€ƒ ๎‰€๎‡ ๎‡†๎†ฑ๎ˆผ๎…ณ๎€ƒ ๎‰€๎‡œ๎ˆผ๎…พ๎ˆผ๎ˆถ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ฎ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž ๎ˆฝ๎†‡๎ˆพ๎†ด ๎‰€๎†ฑ๎ˆฝ ๎‰€๎†“๎ˆš๎€ƒ ๎ˆฝ๎‡›๎ˆฝ๎†€๎€ƒ ๎ˆผ๎‡™๎ˆพ๎†‚๎‰™๎ˆฎ๎ˆผ๎…ฝ๎ˆถ๎ˆฝ๎†บ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ๎ˆฝ๎‡๎ˆฝ๎†ถ๎†๎ˆพ๎ˆฅ๎ˆš๎ˆผ๎‡ž๎ˆผ๎…พ๎€ƒ ๎‰€๎‡๎ˆผ๎†ด ๎ˆฝ๎†ฒ๎ˆผ๎…ฐ๎€ƒ๎‡œ ๎ˆผ๎†ต๎ˆผ๎…บ ๎†พ ๎ˆผ๎†ท๎ˆพ๎…ฎ๎€ƒ๎‡›๎ˆฝ๎†„๎†ถ ๎ˆฝ๎†ณ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ ๎‰€๎‡› ๎ˆฝ๎†ณ๎‰€๎†ธ๎ˆผ๎†ด๎ˆผ๎…ธ๎€ƒ ๎‰™๎‡Ÿ๎ˆผ๎†ด๎‰€๎†„๎ˆฝ๎…ฏ๎€ƒ๎‡ ๎ˆพ๎…ฏ๎†พ๎ˆผ๎†๎ˆ•๎€ƒ ๎‰€๎‡œ ๎ˆฝ๎†ณ๎ˆผ๎…ฏ๎€ƒ ๎‰€๎‡›๎ˆผ๎…ฝ๎ˆผ๎ˆ–๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ฏ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ ๎ˆพ๎†‘๎†พ๎ˆผ๎…ผ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ท๎†ธ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ ๎‰€๎‡›๎ˆฝ๎†€๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎ˆฝ๎ˆค๎†พ๎‡†๎†ถ๎…ฝ๎ˆš๎€ƒ๎ˆฝ๎‡›๎ˆฝ๎†ท๎ˆผ๎†€๎‡ž ๎ˆฝ๎…ฑ๎ˆฝ๎ˆถ๎€ƒ ๎ˆฝ๎‡‰๎ˆผ๎†ฑ๎‰€๎†ด๎ˆผ๎…ฏ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ฉ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎ˆถ๎ˆฝ๎‡‹๎ˆพ๎…ฝ๎†พ๎ˆผ๎…ณ๎€ƒ ๎ˆผ๎‡›๎‡†๎†ถ๎ˆผ๎†ท๎ˆผ๎…ฑ ๎‚˜๎‚ง๎‚ช๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎†ž๎†ฆ๎…ฝ๎†พ ๎ˆผ๎‡ค๎€ƒ๎†พ๎ˆน๎…พ๎‰€๎‡ž๎ˆผ๎…ป๎€ƒ๎†พ๎‡†๎†ถ๎ˆฝ๎…ผ๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ถ๎ˆฝ๎…ฏ๎ˆผ๎‡ž๎‰€๎†ฒ ๎ˆพ๎…ต๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ถ๎‰€๎†ธ๎ˆผ๎†ด๎ˆผ๎…ธ๎€ƒ ๎‰€๎‡๎ˆผ๎†ƒ๎ˆผ๎†ด๎ˆผ๎…น๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ถ๎‡†๎…ฎ๎ˆผ๎ˆค๎€ƒ๎ˆš๎‡ž๎ˆฝ๎…ฝ๎†พ๎ˆผ๎…ป ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ซ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎…ฎ๎†ฆ๎‡Œ๎ˆผ๎†ณ๎ˆฝ๎…ฏ๎‚•Artinya Demikianlah Keadaan orang-orang ka๎‚ฟr itu, hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata Ya Tuhanku kembalikanlah aku ke dunia ๎‚•๎‚™ Barangsiapa yang berat timbangan kebaikannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. ๎‚•๎‚™ dan Barangsiapa yang ringan timbangannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. ๎‚•๎‚™ muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat. ๎‚•๎‚™ mereka berkata Ya Tuhan Kami, Kami telah dikuasai oleh kejahatan Kami, dan adalah Kami orang-orang yang sesat.โ€œKetika engkau pergi ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsumu?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau tidak pernah pernah ke Muzdalifah.โ€ Saat di Muzdalifah redamlah semua hawa nafsumu. Akuilah segala kesalahan dan mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian mengumpulkan senjata untuk menghadapi musuh utama manusia yaitu setan. โ€œSaat engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?โ€ โ€œTidak.โ€ Berarti engkau belum pernah mengunjungi Mina.โ€ Saat di Mina lemparkan semua Istianah40Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016pikiran-pikiran kotor yang menyertai, segala nafsu badani, dan semua perbuatan tercela. Mina dalam bahasa Arab berarti cita-cita. Artinya, untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat yang tinggi di sisi-Nya, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya agar tunduk dan patuh hanya kepada Allah. โ€œKemudian ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau belum melempar jumrahโ€. Lemparkan semua pikiran-pikiran kotor dan segala nafsu badani, kerendahan dan kekejian dan perbuatan tercela lainnya. Melempar jumrah merupakan lambang perlawanan manusia melawan terhadap penindasan dan kebiadaban. Di Mina manusia harus dapat membebaskan dirinya dari setiap perbudakan, membuang ketamakan, dan mengalahkan sifat kebinatangan. Ada tiga berhala yang harus dilawannya, yaitu berhala yang ada di Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Ketiga berhala itu melambangkan kekuatan-kekuatan setan yang setiap saat dapat menyerangnya. Adapun berhala yang pertama yang harus diserang adalah Firโ€™aun yang melambangkan penindasan, Qarun Kroesus adalah lambang kapitalisme dan Balโ€™am adalah lambang kemuna๎€Ÿkan. Shariati, 1995. hal. 124.โ€œKetika engkau sampai di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan segala hawa nafsumu?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau tidak berkurban.โ€ Saat menyembelih kurban sebagai simbolisasi jihad akbar, maka sembelihlah segala hawa nafsumu. Niatkan untuk menyembelih โ€œnafsu kebinatanganโ€ yang ada dalam diri. Sifat egoisme, dehumanisme, sifat kerakusan, keserakahan, ketamakan dan sifat-sifat buruk lainnya yang merupakan kumpulan sifat-sifat kebinatangan yang bersemayam di dalam diri. Menyembelih hawa nafsu berarti kembali berpihak kepada hati nurani yang diterangi cahaya keilahian. Sebab hawa nafsu merupakan pangkal lahirnya segala bentuk kesesatan dan kedhaliman QS. Yusuf [12] 53.๎‚ฉ๎‚ซ ๎‚ฐ๎‚ฑ๎€ˆ๎‚ฒ๎€๎‚ณ๎€Ÿ๎‚… ๎‚ฐ๎‚Œ๎‚…๎€ƒ๎€—๎€‚ ๎€›๎‚ด ๎€๎‚ ๎‚ต๎‚ถ ๎€›๎‚… ๎€Ÿ๎€ž๎€๎‚ท ๎‚‹ ๎‚ธ๎€๎‚ ๎‚ต๎‚ถ ๎€›๎‚… ๎€› ๎€๎‚น๎€›๎‚… ๎ฟ๎€›๎€„ ๎€Ÿ๎‚€๎€๎‚ท ๎€๎‚บ๎‚ธ๎€ƒ๎‚”๎‚ƒ๎‚œ๎‚ป๎€ ๎‚ต๎‚ก ๎‚ผ๎‚ฝ ๎€›๎‚…๎ฟ๎€Ÿ๎€„๎€›๎‚ž ๎€›๎‚€ ๎€›๎‚พ๎‚ฟ๎€‚๎€Ÿ๎ƒ€๎‚œ๎ƒ ๎€Ÿ๎€ž๎€๎‚ท ๎‚‹ ๎‚ธ ๎€๎ƒ‚๎‚ฟ๎€‚๎€›๎ƒƒ ๎€—๎ƒ„๎€๎‚ ๎€›๎‚ต๎€“ ๎€—๎‚“ ๎‚ธ๎ฟ ๎€›๎€„๎€›๎€˜ ๎ƒ…Artinya dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha menundukkan hawa nafsu berarti menyadarkan kita akan keberpihakan kepada hati yang diterangi cahaya Ilahi. Dengan kesadaran demikian , orientasi hidup manusia akan selalu berpihak kepada kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang didasarkan pada semangat keikhlasan. Gusmian, 2006, hal. 128.Menurut para su๎€Ÿ, bahwa dalam diri manusia ada tiga kekuatan hawa nafsu. Pertama, kekuatan kebinatangan quwwatun bahimiyyah. Kekuatan ini mendorong manusia untuk mencari kepuasan lahiriyah dan kenikmatan sensual yang hedonis. Proses Haji dan Maknanya41 Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016Dan yang menjadi orentasi dalam hidupnya adalah hal-hal yang bersifat profan dan duniawi. Kedua, kekuatan binatang buas quwwatun sabiโ€™iyyah. Kekuatan ini memproduksi kesenangan-kesenangan untuk menyerang orang lain, mendengki, menghujat, memaki, dan menghancurkannya. Ketiga, kekuatan syetan quwwatun syaithaniyyah. Kekuatan ini mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang ia lakukan dengan mengukuhkan berbagai logika dan dasar samping tiga kekuatan yang menopang hawa nafsu tersebut, Tuhan juga menganugerahkan dalam diri manusia kekuatan Tuhan quwwatun rabbaniyah. Kekuatan ini berasal dari percikan cahaya Tuhan Nur Ilahi yang terletak pada akal sehat. Jika kekuatan Tuhan ini mampu menakhlukkan tiga kekuatan hawa nafsu di atas, maka akan membentuk citra kemanusiaan yang sempurna. Sebaliknya, jika kekuatan hawa nafsu yang menjadi pemenang, maka yang akan terbentuk adalah individu yang secara ruhaniah tak lebih seperti bintang buas. Rakhmat, 1999. hal. 4.Ketiga kekuatan tersebut harus diperangi karena menyebabkan manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya. Jika manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya, maka hati, mata dan telinga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya QS. Al-Aโ€™raf [17] 179.๎€›๎€ž๎€ƒ ๎€—๎€‹ ๎€›๎ƒ† ๎‚ฟ๎‚ƒ๎€›๎ƒ‡ ๎€Ÿ๎‚€ ๎‚ฐ๎‚Œ๎€ž๎€™ ๎€›๎ƒˆ๎€™ ๎€›๎‚บ ๎‚ฟ๎ƒ‰๎€— ๎€›๎ƒŠ๎€›๎€˜ ๎ฟ ๎€›๎€๎‚ต๎ƒ‹ ๎€›๎€ž๎€˜ ๎€— ๎€๎ƒŒ๎‚ฟ๎‚›๎€—๎€Š ๎€Ÿ๎‚€ ๎‚ฐ๎‚ฑ๎€• ๎€—๎€ˆ๎ƒ ๎‚ฟ๎ƒŽ๎€›๎‚“ ๎‚ฟ๎ƒ‰๎€— ๎€›๎ƒŠ๎€›๎€˜ ๎ฟ๎€› ๎€๎‚ต๎ƒ‹ ๎€›๎€ž๎€ƒ๎€— ๎€›๎€”๎ƒ ๎‚ฟ๎€‚ ๎€›๎€Š ๎€Ÿ๎‚€ ๎‚ฐ๎‚Œ๎‚š๎€ƒ๎€—๎€ ๎€—๎ƒ ๎‚ฟ๎ƒ‰ ๎€— ๎€›๎ƒŠ ๎‚จ ๎€๎‚พ๎ƒ‘๎€๎ƒ’ ๎‚ฟ๎‚€๎ƒ ๎€›๎€˜ ๎€๎‚๎€…๎€๎‚ต ๎‚ฟ๎‚๎ƒ ๎€›๎€… ๎€๎‚๎€„ ๎€™๎‚ฐ๎ƒ“ ๎€ˆ๎€‡ ๎€๎ƒ” ๎€›๎ƒ• ๎€› ๎€Ÿ๎€•๎‚ฒ ๎€›๎ƒ–๎€›๎‚ต ๎€๎ƒ— ๎€›๎€•๎‚ก๎‚ฟ๎‚“๎€›๎‚… ๎€›๎ƒˆ ๎‚ฟ๎‚  ๎€›๎‚ข๎€›๎‚œ ๎€›๎€˜ ๎€›๎€ž๎€ƒ๎€—๎€๎€๎€‚๎‚ฃ๎€๎€›๎ƒ˜๎‚ฟ๎‚œ๎ƒ ๎€—๎€—๎ƒ™ ๎€›๎ƒš๎ƒ›๎ƒœ๎ƒ๎€๎€›๎‚œ๎€๎€˜๎€—๎‚“ ๎‚‹ ๎‚”๎ƒž๎€›๎ƒŸ๎€›๎‚“ ๎‚ฟ๎€—๎ƒ™ ๎‚ฟ๎ƒž๎€›๎ƒ  ๎€๎ƒ‰๎‚ฃ๎€๎€›๎€‹๎‚ฟ๎ƒƒ๎€›๎‚ž๎‚ฟ๎‚€๎‚ป๎€›๎ƒก ๎€›๎ƒš๎ƒ›๎ƒœ๎ƒ๎€๎€›๎‚œ๎€๎€˜๎€—๎‚“ ๎‚‹ ๎‚ธ๎ฟ๎€›๎€ ๎‚ต๎ƒ‹ Artinya dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang menyembelih kurban, sesungguhnya kita disadarkan kembali untuk selalu membangkitkan Quwwatu Rabbaniyyah. Artinya bahwa yang harus disembelih dan dikurbankan hakikatnya tidak hanya hewan ternak. Kambing, sapi, onta dan binatang ternak lainnya hanyalah simbol dari obyek penyembelihan kurban. Dengan merobohkan hawa nafsu, maka akan tampak keindahan Allah, dan makin besar kerinduan kepada-Nya, maka akan semakin dekat dia di adalah simbol totalisan penyerahan diri, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang diiringi dengan sikap pasrah. Dengan melakukan ibadah haji mestinya memberikan kesadaran bahwa keimanan sejati dibuktikan dengan kesediaan dalam melakukan pengorbanan dengan menyembelih โ€œnafsu kebinatanganโ€. Istianah42Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016โ€œKetika engkau berlari antara Shafa dan Marwa, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian dan kebajikan?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau tidak saโ€™i.โ€ Saโ€™i merupakan rekonstruksi peristiwa Siti Hajar mencari air dari bukit Shafa menuju Marwa. Saโ€™i yang arti har๎€Ÿyahnya adalah kesucian dan ketegaran. Ketika berdiri di bukit Shafa, sucikan ruh dan batinmu untuk menemui Tuhan pada hari pertemuan dengan-Nya dan menempatkan diri pada pengawasan-Nya dengan membersihkan perilaku di Marwa. Perjalanan saโ€™i sebanyak tujuh kali yang diawali dari bukit Shafa dan di akhiri di bukit Marwa melambangkan bahwa manusia dalam mencapai kehidupan harus melalui usaha dengan penuh kesucian dan ketegaran. Hasil usaha manusia akan diperoleh dengan baik melalui usaha dan anugerah Allah, sebagaimana yang dialami Hajar bersama puteranya Ismaโ€™il. Hajar adalah teladan bagi manusia, kepasrahan dan kepatuhannya yang sangat teguh yang disandarkan kepada cinta. Karena โ€œcintaโ€ kepada Allah, Hajar pasrah kepada kehendak-Nya yang mutlak. Shariati, 1995. hal. 47Demikian pula dengan saโ€™i yang merupakan simbol perjuangan yaitu sikap optimis dan dinamis dalam hidup. Kemudian berakhir di Marwa yang berarti idealnya manusia harus bersikap menghargai, bermurah hati dan saling memaa๎€›an. Shihab, 2001, hal. 216. Kemudian dilanjutkan dengan mencukur rambut. Waktu mencukur rambut, cukurlah aib-aibmu lahir batin. Ritual ini disebut tahallul Al-Fath [48] 27. ๎‚จ ๎€›๎€ž๎€ƒ๎€—๎€š๎ฟ ๎€›๎€•๎€›๎€”๎ƒข ๎€›๎‚€ ๎€›๎€•๎€ˆ๎ƒฃ ๎€ ๎€๎‚๎ƒŒ ๎€›๎‚ข ๎€—๎€„๎€›๎€˜ ๎€ ๎€—๎ƒค ๎€›๎ƒฅ๎€˜ ๎€—๎‚บ๎€—๎‚… ๎€›๎€• ๎€ˆ๎ƒ ๎€๎‚ข๎€๎‚๎€ ๎€› ๎€—๎ƒฆ ๎€›๎€• ๎€ˆ๎ƒ ๎€๎ƒ€ ๎€๎€„๎ƒง ๎€— ๎€Ÿ๎ƒจ๎€™ ๎€›๎‚บ๎ฟ ๎€›๎ƒฉ ๎€๎€ž๎€๎‚ท ๎€›๎ƒช๎€™ ๎€›๎‚‰ ๎€› ๎€๎‚๎€™ ๎€›๎‚  ๎€๎ƒซ ๎€๎‚ƒ๎€› ๎€๎ƒฌ๎€™ ๎€Ÿ๎€…๎€—๎€ ๎€—๎€† ๎€๎‚ ๎€›๎‚ฅ ๎€›๎‚œ ๎‚จ ๎€๎‚๎ƒญ ๎€› ๎€๎‚ ๎€๎‚ต๎‚ก ๎€›๎€ˆ๎‚ก ๎€๎ƒฎ ๎‚”๎‚‰๎‚œ๎€™ ๎€— ๎€›๎ƒฏ๎€ƒ ๎€—๎ƒฅ๎€›๎‚… ๎€— ๎€Ÿ๎ƒจ๎€™ ๎€›๎‚‚ ๎€›๎‚  ๎€›๎ƒฐ ๎€๎‚ ๎€›๎‚ข๎€›๎‚œ๎ฟ๎ƒ“๎‚›๎€Š ๎€๎‚‰ ๎€›๎ƒ ๎ฟ ๎ƒ“๎ƒฑ๎€๎‚ฅ ๎€›๎€š ๎€›๎ƒš๎€๎‚œ ๎‚ฃ๎€›๎ƒˆ ๎€๎€ž๎€˜ ๎€—๎€– ๎€๎€… ๎€๎€„ ๎€›๎ƒž ๎€›๎€‹๎€›๎‚ต ๎€›๎€•๎ƒฒ ๎€™๎€ƒ ๎€— ๎€›๎€Œ ๎€๎€‹ ๎€›๎€ ๎€ ๎€›๎ƒณ ๎ฟ ๎€›๎€„ ๎€› ๎€๎ƒด ๎€›๎€‹ ๎€›๎€šArtinyaSesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya yaitu bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang selesai ritual inilah, manusia dituntut untuk menutup mencukur aib-aibnya masa lalunya dengan membuka lembaran kehidupan baru yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah. Kalau belum melakukan prosesi seperti yang dicontohkan tersebut di atas, jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh penyair Persia Nasher Khosrow, โ€œSesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji, engkau belum taat kepada Allah.โ€ Shihab, 2001, hal. 217.Pada hakikatnya ibadah haji merupakan suatu tindak mujahadah upaya jiwa yang sungguh-sungguh untuk memeperoleh kesadaran musyahadah penyaksian. Yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai sarana dan upaya bertemu liqaโ€™ dengan Tuhan. Mujahadah sebagai sarana penghubung seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhan. Berpakaian ihram, thawaf, saโ€™i Proses Haji dan Maknanya43 Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016dan melempar jumrah adalah sebagai sarana yang mengantarkan seorang hamba menuju Tuhannya. Sedangkan musyahadah sebagai titik orientasi dari segala prosesi tersebut, yakni tercapainya kondisi percintaan hubb antara hamba dengan Sang Khalik. Ketika musyahadah tercapai, maka yang terlihat di segala penjuru yang ada adalah โ€œwajahโ€ Tuhan. Dalam perspektif su๎€Ÿ kekuatan ke-aku-an akan lebur dalam ke-Maha-hadir-an Tuhan. Simbol-simbol tidak lagi menjadi penting dan puji-pujian manusia tidak lagi bermakna. Maka tujuan esensial haji bukanlah mengunjungi Kaโ€™bah, tetapi memperoleh musyahadah sebagaimana yang dikatakan oleh para su๎€Ÿ. Dalam pandangan kaum su๎€Ÿ, boleh jadi ada yang melihat kaโ€™bah, wukuf, saโ€™i dan sebagainya namun tidak mencapai makna haji. Yang sama Tuhan di Makkah, bagaikan berkunjung ke rumah yang tidak berpenghuni. Dan yang tidak berkunjung ke rumah Tuhan, tetapi merasakan kehadiran-Nya, maka Tuhan telah mengunjungi rumahnya. Shihab, 2001, hal. 212-213.Menunaikan ibadah haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke Makkah. Namun aksi-aksi yang memberikan makna dan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia jauh lebih penting. Jika ada orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Makkah, tetapi dalam dirinya tidak terjadi proses transformasi nilai-nilai religius artinya ia belum menunaikan panggilan Tuhan. Proses mujahadahnya ke Mekkah belum memberikan bekas sedikitpun dalam perilaku kehidupannya. Di sinilah perlu digaris bawahi bahwa keberhasilan ibadah haji bukan dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya dan bukan pula simbol atau gelar haji atau hajjah yang disandangnya, namun ditentukan oleh kesadaran musyahadahnya kepada Tuhan. Karena musyahadah inilah yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial. Dengan melakukan ibadah haji mestinya mampu membersihkan dari unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus. Haji yang demikianlah yang pantas mendapat gelar haji yang mabrur, haji yang berhasil melakukan musyahadah dengan Tuhan dan mampu memberikan kebaikaan birr, menaburkan kedamaian di muka bumi. Maka pantaslah surga sebagai makna prosesi haji yang demikian indah. Haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang maknanya sangat dalam. Mestinya sebagai tamu Allah perlu menghayati makna-makna terdalamnya. Sehingga ibadahnya tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan bahkan dianggap sebagai ibadah paripurna. Makna-makna prosesi haji perlu dihayati dan diamalkan secara baik dan benar. Dengan demikian akan mengantarkannya menjadi manusia yang mampu keluar dari hegemoni kepentingan hawa nafsu yang cenderung menjauhkan diri dari Allah. Sehingga mampu memberikan kebaikaan birr, menaburkan kedamaian di muka bumi. Istianah44Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016ReferensiAl-Qurโ€™an al-KarimGhafur, Waryono Abdul, 2005, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, Yogyakarta eLSAQ Islah, 2006, Surat Cinta al-Ghazali Nasihat-nasihat Pencerah Hati, Bandung Nurcholis, 1997, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta ParamadinaMaktabah SyamelaRakhmat, Jalaluddin, 1999, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Su๎€Ÿstik, Bandung PT Remaja Rosdakarya Shihab, M. Quraish Sihab, 1999, Membumikan al-Qurโ€™an, Bandug 2001, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung Mizan. Shariati, Ali, 1995, Haji, Bandung Penerbit Muhammad, 2005, TaSawuf Transformatif, Sekarjalak. diakses tanggal 31 Agustus 2016 diakses tanggal 31 Agustus 2016 ... c. Thawaf, adalah mengelilingi Ka'bah yang berputar dengan berlawanan arah jarum jam. Thawaf dimulai di Hajar Aswad atau garis yang sejajar dengan Hajar Aswad [5]. d. ...Eka Fatra Arif HidayatullahRohman DijayaNuril Lutvi AzizahHajj is a special worship, which is a dream and obligation for Muslims in the world to perform it, for those who are physically and materially capable. An introduction to the pilgrimage has been obtained since the 3rd grade of Elementary School SD. The long process of the pilgrimage with various pillars and provisions contained in the procedures for its implementation often raises the disinterest of students in learning to understand and study the pilgrimage more deeply. To achieve the desired competence, many learning media have been developed, one of which is Augmented Reality AR technology. Augmented Reality AR is a technology that allows you to integrate 3D objects into a real environment. Based on this problem, the author makes an application about the introduction and pillars of the pilgrimage based on Augmented Reality using the Markerless method. Making applications using Blender software as a modeler and Unity 3D as an application maker. It is hoped that this application can introduce Augmented Reality into the world of education, and help students, especially elementary school children, get to know the pillars of Hajj better.... Experts disseminate health advice. e. Directions to and from home in a safe manner Istianah, 2017 The communication system related to services carried out in the implementation of the Hajj is in accordance with the Law of the Republic of Indonesia No. 8 of 2019 concerning the Implementation of the Hajj and Umrah Worship, which states that one of the objectives of organizing the Hajj and Umrah is to provide guidance, service, and protection to Hajj and Umrah pilgrims. Umrah pilgrims so that they can perform their worship in accordance with Shari'a law. ...Ahmad Tamrin Sikumbang Syukur KholilRubino RubinoFarhan IndraThis article discusses the role of communication in attracting Hajj pilgrims to North Sumatra. This article examines the steps taken by the North Sumatra Province Ministry of Religion to implement a communication system in terms of services and pilgrim protection guarantees. This article's research employs a descriptive method with a qualitative approach. Interviews were conducted with several informants who were considered qualified to answer this topic within the Ministry of Religion of North Sumatra, including the Jemaah Haji from North Sumatra. Literature studies and documentation are two other methods for gathering data. Data processing and analysis techniques were applied in three stages data reduction, data presentation, and conclusion drawing. According to the findings of this study, the Ministry of Religion has ensured a fair, professional, and accountable implementation of the Hajj by prioritizing the interests of the congregation, and general and special services for disabled people. Meanwhile, both domestically and in Saudi Arabia, coaching takes the form of practice. Furthermore, the Ministry of Religion has put legal safeguards in place to ensure the safety of Hajj pilgrims.... Furthermore, the essence of the Hajj pilgrimage is basically an act of mujahadah an earnest effort of the soul to gain awareness of musyaadah witness, which is the process of perseverance of a servant visiting Baitullah the house of God as a means of meeting liqa' with God. Hajj is a symbol of a person's return to God the Absolute Istianah, 2017. Thus, religion as a fact and history has a symbolic and sociological dimension as an abstract domain structure independent of space and time Zainuddin, 2013. ... Mustaqim PabbajahM TaufiqHidayat PabbajahZainal SaidThis study discusses the contestation of Islamic identity and local traditions of the Bugis-Makassar people in socio-religious life. Tradition contains a belief with form and practices that can still be traced to the present. In this case, the identity of the hajj pilgrimage attached to Muslims has been adapted to the Bawakaraeng Hajj community in the South Sulawesi region. The current research employed a qualitative descriptive approach and field-based data collection techniques by conducting observations and interviews with key informants about the Bawakaraeng community. It was found that the Bugis-Makassar practice of carrying out a series of rituals on the summit of Mount Bawakaraeng is an old tradition indicating a contestation between Islamic identity and local traditions. The term Hajj, which is attached to the Bawakaraeng pilgrimage, is a media construct, alluding to the mainstream Hajj, due to the strong influence of Islamization in South Sulawesi. Contestation takes place in three forms. First, mild contestation that shows religion and tradition accept and complement each other. Second, open contestation that distinguishes religious practices and traditions. Third, contestation that seeks to impose influence upon one another - a frontal conflict between religion and local traditions. This paper suggests that the study of Islam and culture in Indonesia, as a multicultural nation, still needs to be explored contextually and comprehensively as an ever-changing social MadjidMadjid, Nurcholis, 1997, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta Paramadina Maktabah SyamelaM Quraish ShihabSihabShihab, M. Quraish Sihab, 1999, Membumikan al-Qur' an, Bandug Mizan.

Abstract p>Hakikat ibadah haji pada dasarnya adalah suatu tindak mujahadah (upaya jiwa yang sungguh-sungguh) untuk memeperoleh kesadaran musyahadah (penyaksian). Yakni proses kegigihan seorang ๏ปฟHAJI DALAM PANDANGAN itu dilaksanakan didalam diri anda sendiri. Haji itu ada bersangkut paut dengan pergorbanan. Apakah pergertian korban yang sebenar2nya? Adakah Allah itu memandang pada binatang yang dikorbankan itu? Adakah Allah pandang pada nabi Ismail ketika dia disembelih oleh ayahnya sendiri? Pergertian korban itu ertinya ialah penyerahan. Penyerahan zat, sifat, af'al dan asma kembali kepada Allah Ta'ala. Jangan lagi di adakan sifat2 keakuan diri. Serahkan secara mutlak zahir dan batin kepada Allah. Semuanya menjadi milik yang mengatakan, apabila anda mengerjakan haji diMekah...anda diibaratkan seperti bayi yang suci dan bersih. Apakah pergertian suci dan bersih itu dan bagaimankah anda bisa mencapai kepada tahap tersebut?Apabila anda telah kembalikan zahir dan batin kepada Allah, maka anda itu berada didalam keadaan fitrah. Fitrah itu ertinya semula jadi bersih dan suci. Tidak kah anda menjadi bersih dan suci apabila segala2nya menjadi milik Allah? Tiada lagi yang dikatakan milik kita. Di sini juga anda telah pun kembalikan amanah dan rahsia kepada tuan yang empunya rahsia dan amanah iaitu Allah swt..Renung2kanlah......Apakah pegertian Ka'abah atau Baitullah didalam pandangan Hakikaton?Ka'abah atau Baitullah di Mekah itu ada lah satu kiasan atau tanda bagi umat Islam diseluruh atau Baitullah itu ertinya rumah Allah. Yang dikatakan rumah Allah itu adalah tempat hakikatnya,Baitullah itu berada didalam Qalbu orang2 mukmin. Untuk mendapatkan Baitullah, anda wajib mengenali Qalbu orang2 mukmin itu adalah mereka2 yang beriman iaitu percaya bahawa yg wujud dan maujud itu hanya Allah. Orang2 mukmin itu adalah mereka2 yang telah membuat penyerahan secara total kepada Allah sehingga tidak lagi terlihat adanya itu pula adalah Roh. Roh itu lah raja yang memerintah jasad mengikut apa yang tertulis dikitab Luhul Mahfuz. Roh itu lah yang menghidupkan jasad bagi menyatakan Hayat iaitu sebenar2nya wujud dan maujud itu lah yg dikatakan diri yg sebenar2nya diri. Roh dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad itu dari Nurullah. Pada hakikatnya....ROH ITU LAH YANG DIKATAKAN BAITULLAH iaitu rumah Allah. Roh itu bukan Allah tapi tak lain dari Allah itu pegertian Ka'abah atau Baitullah didalam pandangan Hakikaton?Ka'abah atau Baitullah di Mekah itu ada lah satu kiasan atau tanda bagi umat Islam diseluruh atau Baitullah itu ertinya rumah Allah. Yang dikatakan rumah Allah itu adalah tempat hakikatnya,Baitullah itu berada didalam Qalbu orang2 mukmin. Untuk mendapatkan Baitullah, anda wajib mengenali Qalbu orang2 mukmin itu adalah mereka2 yang beriman iaitu percaya bahawa yg wujud dan maujud itu hanya Allah. Orang2 mukmin itu adalah mereka2 yang telah membuat penyerahan secara total kepada Allah sehingga tidak lagi terlihat adanya itu pula adalah Roh. Roh itu lah raja yang memerintah jasad mengikut apa yang tertulis dikitab Luhul Mahfuz. Roh itu lah yang menghidupkan jasad bagi menyatakan Hayat iaitu sebenar2nya wujud dan maujud itu lah yg dikatakan diri yg sebenar2nya diri. Roh dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad itu dari Nurullah. Pada hakikatnya....ROH ITU LAH YANG DIKATAKAN BAITULLAH iaitu rumah Allah. Roh itu bukan Allah tapi tak lain dari Allah itu Tawaf pada pandangan itu adalah pekerjaan mengelilingi Ka'abah sebanyak 7 kali kali pusingan itu ertinya 7 sifat ma'ani iaitu Melihat, Mendengar, Berqalam, Ilmu, Hayat, Kudrat dan Iradat. 7 sifat2 ini hendak lah dikembalikan pada yang empunya sifat. Jangan lagi mengaku dan memakai sifat yg bukan milik kamu. Kamu itu pada hakikatnya tidak ada daya dan upaya. Kesemua sifat2 ma'ani itu kepunyaan Allah swt. Sifat2 ini bagi menyatakan yang Allah itu maha berkuasa. Insan itu adalah rahsia Allah dan semua sifat2nya itu tidak lain dari Allah juga.[ Sumber ari FB ] About roslanTv Tarekat Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse molestie consequat, vel illum dolore eu feugiat nulla facilisis at vero eros et accumsan et iusto odio dignissim qui blandit praesent luptatum zzril delenit augue duis.
Hatihati mempelajari ilmu hakikat makrifat. ilmu ini memang sekarang tergolong langka, jarang sekali ada seorang guru yang mau mengajarkan ilmu ini kepada khalayak umum. selain juga sedikit orang yang memiliki kelebihan ilmu ini. saking langkanya ilmu ini maka banyak orang mencari dan akhirnya tersesat. semula mengira bahwa ia akan mengajarkan
TASAWWUF SYARIAT, TAREKAT, HAKIKAT, MAKRIFAT Pertanyaan Saya 1. apa itu syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat? 2. apa yang dimaksud mempelajari islam secara lengkap? Apa saja kategori2/bidang2 ilmu dalam ilmu islam? 3. apakah boleh seseorang mempelajari islam hanya syariat saja dan tidak mempelajari tarekat, hakikat, dan makrifat? Dan apa hukumnya wajib mempelajari syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat secara terintegrasi dan menyeluruh? 4. apakah boleh seseorang beribadah tidak mengharap surga, tidak takut masuk neraka, rela masuk neraka jika ALLAH menghendakinya, dan beribadah atas dasar kecintaan terhadap ALLAH? 5. Lebih tinggi mana derajat orang yang beribadah karena ingin masuk surga saja atau orang yang beribadah karena kecintaannya kepada ALLAH tidak mengharap masuk syurga, tidak takut masuk neraka, dan murni hanya mengharap ridho ALLAH semata? TOPIK SYARIAH ISLAM APA ITU TASAWUF? TAREKAT, SYARIAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT PENGERTIAN TAREKAT SECARA UMUM PENGERTIAN TAREKAT SECARA KHUSUS TAREKAT TERORGANISIR MENURUT IMAM NAWAWI SYARIAT, TAREKAT DAN HAKIKAT TINGKATAN MAKRIFAT CARA KONSULTASI AGAMA JAWABAN APA ITU TASAWUF? 1. Ketika anda menanyakan definisi syariat lalu dikaitkan dengan tarekat, hakikat dan makrifat, maka sebenarnya anda bertanya tentang dunia tasawwuf. Karena dalam ajaran Islam yang non-tasawwuf, hanya ada tiga prinsip Islam yang pokok yaitu Islam, Iman dan Ihsan berdasarkan pada hadis sahih riwayat Muslim dari Umar bin Khattab - yang dikenal dengan hadits Jibril - di mana terjadi percakapan antara malaikat Jibril dan Rasulullah yang ringkasannya sebagai berikutHai Muhammad. Beritahukan kepadaku apa itu Islam! Rasulullah Saw berkata โ€œIslam adalah Anda bersaksi tiada Ilaah yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, tegakkan shalat, bayarkan zakat, puasakan Ramadhan, laksanakan haji jika Anda mampu berjalan ke sana. Ia berkata Anda benar. Kami heran, ia bertanya kemudian ia membenarkan. Ia berkata lagi Beritahukan kepadaku apa itu Iman! Rasul menjawab Anda percaya kepada Allah, MalaikatNya, kitan-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir, dan anda beriman kepada qadar baik dan buruk. Ia menjawab Anda benar. Ia berkata lagi Beritahu aku apa itu Ihsan! Rasul berkata "Anda sembah Allah seolah-olah melihatnya, dan jika Anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihatmu." TAREKAT, SYARIAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT Adapun agama Islam versi kalangan pengikut tasawwuf, maka ia terbagi menjadi tiga yaitu syariat, tarekat dan hakikat. Istilah arekat juga menjadi nama lain dari aliran tasawuf. Berikut pengertian syariat, tarekat dan haqiqat versi pengikut tasawwuf. TAREKAT DAN TASAWWUF Pengertian tarekat atau tasawuf dapat dikategorikan ke dalam dua definisi. Definisi umum dan khusus. Definisi umum adalah pengertian tarekat yang diberikan oleh ulama kalangan sufi tak terorganisir atau sufi individual. Sementara tarikat dalam pengertian khusus adalah pengertian yang diberikan oleh kalangan sufi terorganisir yang bernaung di bawah suatu gerakan tarekat seperti tarekat naqshabandiyah, Syadziliyah, dst. PENGERTIAN TAREKAT SECARA UMUM Imam Nawawi dalam kitab Al-Maqashid fi Al-Tauhid wal Ibadah wa Ushul Al-Tashawuf, hlm. 20, menjelaskan pokok-pokok tasawuf sbb ุฃุตูˆู„ ุทุฑูŠู‚ ุงู„ุชุตูˆู ุฎู…ุณุฉ ุชู‚ูˆู‰ ุงู„ู„ู‡ ููŠ ุงู„ุณุฑ ูˆุงู„ุนู„ุงู†ูŠุฉุŒ ูˆุงุชุจุงุน ุงู„ุณู†ุฉ ููŠ ุงู„ุฃู‚ูˆุงู„ ูˆุงู„ุฃูุนุงู„ุŒ ุงู„ุฅูุนุฑุงุถ ุนู† ุงู„ุฎู„ู‚ ููŠ ุงู„ุฅูู‚ุจุงู„ ูˆุงู„ุฅูุฏุจุงุฑุŒ ุงู„ุฑุถู‰ ุนู† ุงู„ู„ู‡ ููŠ ุงู„ู‚ู„ูŠู„ ูˆุงู„ูƒุซูŠุฑุŒ ูˆุงู„ุฑุฌูˆุน ุฅูู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ููŠ ุงู„ุณุฑุงุก ูˆุงู„ุถุฑุงุก Artinya Pokok tarekat tasawuf ada lima takwa pada Allah dalam rahasia atau terang, mengikuti sunnah dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk dari depan dan belakang, rela pada pemberian Allah dalam sedikit atau banyak, kembali pada Allah kala senang dan susah. Zakariya Al-Anshari dalam Risalah Al-Qusyairiyah, hlm. 7, memberikan definisi tasawuf kurang lebih sama dengan Imam Nawawi ุงู„ุชุตูˆู ุนู„ู… ุชุนุฑู ุจู‡ ุฃุญูˆุงู„ ุชุฒูƒูŠุฉ ุงู„ู†ููˆุณุŒ ูˆุชุตููŠุฉ ุงู„ุฃุฎู„ุงู‚ ูˆุชุนู…ูŠุฑ ุงู„ุธุงู‡ุฑ ูˆุงู„ุจุงุทู† ู„ู†ูŠู„ ุงู„ุณุนุงุฏุฉ ุงู„ุฃุจุฏูŠุฉ Artinya Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan penyucian hati dan pembersihan akhlak dan meramaikan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan abadi. Dalam pengertian yang diberikan oleh Imam Nawawi dan Al-Anshari ini, maka tarekat adalah penyucian diri dengan menaati segala perintah Allah secara ikhlas bukan karena takut atau ingin dipuji sesama manusia; menekankan pada nilai esoteris hati daripada eksoteris lahiriyah. Tidak lebih dari itu. Apabila mengikuti definisi ini, maka semua muslim yang taat pada syariah dan menjauhi larangannya dapat disebut sebagai seorang Sufi atau pengikut tasawuf tanpa harus ada keterikatan dengan guru atau mursyid tarekat tertentu. Dalam pemahaman ini, maka Tarekat atau tasawuf merupakan salah satu aspek dari Islam yang serupa dengan hukum syariah fiqih. Tasawuf itu tak terpisahkan dari Islam dan menjadi bagian dari keimanan Islam; menjadi pilar ketiga Islam yaitu ihsan sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Muslim dari Umar bin Khattab yang disebut di awal tulisan ini. Apabila tarekat dimaknai sebagai pembersihan diri saja, maka klaim mereka sebagai implementasi dari 'ihsan' adalah tepat. PENGERTIAN TAREKAT SECARA KHUSUS Dalam terminologi kaum sufi yang terorganisir, tarekat adalah jalan menuju Allah yang dilakukan oleh pengikut kelompok ini untuk pembersihan diri tazkiyah an-nafs melalui pendidikan tarbiyah, dzikir serta wirid riyadhah secara intensif atas panduan seorang mursyid guru spiritual yang mencapai tingkat wali yang mahfudz tak pernah salah yang dengannya akan mencapai makrifat pada Allah. Dalam tarekat terorganisir ini elemen terpenting adalah adanya murid dan mursyid guru spiritual. Dalam pengertian kedua ini, maka muncullah beberapa organisasi atau aliran toriqot. Di Indonesia, ulama NU, membagi kelompok tarikat ini menjadi muktabaroh yang dianggap dan ghoiru muktabarah yang tidak diakui. Organisasi toriqot yang muktabaroh antara lain Syadziliyah, Naqshabaniyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dll. TAREKAT TERORGANISIR MENURUT IMAM NAWAWI Ulama salaf tidak keberatan dengan keberadaan tasawuf/tarekat terorganisir dengan syarat tidak ada hal-hal yang berlawanan dengan 4 sumber syariah yaitu Quran, Sunnah, ijmak dan qiyas. Imam Nawawi dalam Al-Maqashid fi Bayan Al-Aqaid wa Ushul Al-Ahkam, hlm. 92, menjelaskan soal ini ุฃุตูˆู„ ุงู„ุฏูู‘ูŠู† ุฃุฑุจุนุฉ ุงู„ูƒุชุงุจู ูˆุงู„ุณู†ูู‘ุฉ ูˆุงู„ุฅุฌู…ุงุน ูˆุงู„ู‚ูŠุงุณ ุงู„ู…ุนุชุจุฑุงู† . ูˆู…ุง ุฎุงู„ู ู‡ุฐู‡ ุงู„ุฃุฑุจุนุฉ ูู‡ูˆ ุจุฏุนุฉู ูˆู…ุฑุชูƒุจูู‡ ู…ูุจุชุฏุน , ูŠุชูŽุนูŽูŠูŽู‘ู†ู ุงุฌุชู†ุงุจู‡ ูˆุฒุฌุฑู‡ู . ูˆู…ู† ุงู„ู…ุทู„ูˆุจ ุงุนุชู‚ุงุฏ ู…ู† ุนู„ู… ูˆุนู…ู„ ูˆู„ุงุฒู… ุฃุฏุจ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ , ูˆุตุญุจ ุงู„ุตู‘ุงู„ุญูŠู† . ูˆุฃู…ู‘ุง ู…ู† ูƒุงู† ู…ุณู„ูˆุจุงู‹ ุนู‚ู„ู‡ู ุฃูˆ ู…ุบู„ูˆุจุงู‹ ุนู„ูŠู‡ , ูƒุงู„ู…ุฌุงุฐูŠุจ , ูู†ุณู„ู‘ู… ู„ู‡ู… ูˆู†ููˆู‘ุถ ุฅู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุดุฃู†ู‡ู… , ู…ุน ูˆุฌูˆุจ ุฅู†ูƒุงุฑ ู…ุง ูŠู‚ุน ู…ู†ู‡ู… ู…ุฎุงู„ูุง ู„ุธุงู‡ุฑ ุงู„ุฃู…ุฑ , ุญูุธุงู‹ ู„ู‚ูˆุงู†ูŠู† ุงู„ุดูŽู‘ุฑุน Artinya Pokok agama ada empat Al-Quran, hadits, ijmak dan qiyas yang muktabar. Adapun sesuatu yang berlawanan dengan sumber yang empat ini maka bid'ah yang sesat dan pelakunya adalah mubtadi' ahli bid'ah yang harus dijauhi. Dituntut untuk meyakini ulama yang mengerti dan mengamalkan ilmunya dan komitmen pada aturan syariah dan bersama kalangan orang soleh. Adapun orang yang rusak akalnya atau gila, seperti orang yang jadzab, maka kami serahkan tingkah mereka pada Allah serta wajib mengingkari pada yang terjadi pada mereka yang berlawanan dengan zhahirnya perkara guna menjaga aturan syariah. SYARIAT, TAREKAT DAN HAKIKAT Berikut definisi syariat, tarekat dan hakikat menurut pemahaman khusus di kalangan ahli tasawuf SYARIAH Syariah adalah sisi praktis dari ibadah dan muamalah dan perkara-perkara ubudiyah. Tempatnya adalah anggota luar dari tubuh. Yang mengkaji khusus ilmu syariah disebut fuqaha ahli fiqih. TAREKAT DAN HAKEKAT Tarekat adalah kesungguhan hati mujahadah al-nafs dan meningkatkan kualitas karakter hati yang kurang menuju kesempurnaan dan naik dalam posisi kesempurnaan dengan sebab ditemani oleh para mursyid. Tarikat adalah jembatan yang menjadi perantara dari syariah menuju hakikat Lihat, As-Sayid, Takrifat, hlm. 94. Untuk menjelaskan hubungan antara syariat dan hakikat, ulama Sufi memberi contoh shalat. Melaksanakan shalat dengan semua gerakan dan perilakunya yang bersifat lahiriyah dan memenuhi semua rukun dan syarat shalat sebagaimana disebut oleh ulama fiqih merepresentasikan sisi syariah yaitu fisik shalat. Sedangkan hadirnya hati bersama Allah dalam shalat mewakili sisi hakikat. Ia adalah ruh shalat. Perbuatan shalat secara fisikal adalah jasad dari shalat sedangkan khusyuk dalam shalat adalah ruhnya. TINGKATAN MAKRIFAT Makrifat adalah maqam posisi tertinggi di kalangan panganut tarekat. Menurut kalangan Sufi, makrifat adalah anugerah Allah pada kalangan Al-Arif orang yang mencapai makrifat berupa ilmu, rahasia asrar dan lataif kelembutan. Makrifat bisa dicapai dengan lamanya "bermuamalah" dengan Allah. Makrifat merupakan hasil dari sikap zuhud dan penyucian diri dan ia tidak dapat dicapai kecuali dengan dzauq rasa dan wijdan kekuatan batin Lihat, Kamal Ja'far dalam Al-Tashawwuf, hlm. 200. **** BELAJAR ILMU AGAMA ADA DUA KATEGORI 2. Orang yang belajar ilmu agama ada dua kategori orang awam dan calon ulama. Orang awam cukup mempelajari ilmu agama secukupnya saja tanpa perlu pendalaman dan itupun hanya terkait dengan ilmu-ilmu syariah keseharian seperti perihal shalat, puasa, zakat, dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Sedangkan calon ulama diharuskan untuk mempelajari berbagai ilmu agama termasuk juga bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Quran dan hadits. Baca detail Hukum Belajar Ilmu Agama APA SAJA ILMU AGAMA ITU? Al-Quran dan tafsirnya, hadis dan ilmu cabangnya, fiqih dan ushulnya, aqidah, ilmu bahasa Arab, tajwid, sejarah, dan lainnya. Baca detail Hukum Belajar Ilmu Agama 3. Boleh. Ilmu yang perlu dipelajari oleh kalangan awam adalah yang terkait dengan kewajiban syariah saja. Baca detail Hukum Belajar Ilmu Agama HUKUM BELAJAR ILMU TASAWUF DAN IKUT TAREKAT TERORGANISIR Adapun ilmu tasawuf seperti soal hakikat dan makrifat itu justru mendapat peringatan dari Imam Nawawi agar kita berhati-hati dengannya. Kami kutipkan lagi ucapan Imam Nawawi di atasPokok agama ada empat Al-Quran, hadits, ijmak dan qiyas yang muktabar. Adapun sesuatu yang berlawanan dengan sumber yang empat ini maka bid'ah yang sesat dan pelakunya adalah mubtadi' ahli bid'ah yang harus dijauhi. Dituntut untuk meyakini ulama yang mengerti dan mengamalkan ilmunya dan komitmen pada aturan syariah dan bersama kalangan orang soleh. Adapun orang yang rusak akalnya atau gila, seperti orang yang jadzab, maka kami serahkan tingkah mereka pada Allah serta wajib mengingkari pada yang terjadi pada mereka yang berlawanan dengan zhahirnya perkara guna menjaga aturan syariah. Tidak wajib. Yang wajib bagi kalangan awam adalah belajar ilmu syariah dasar agar dapat melaksanakan kewajiban agama dan menjauhi larangannya dengan benar. Sedangkan ilmu agama secara mendalam hukumnya fardhu kifayah yakni wajib pada sebagian orang yang memang mengkhususkan diri untuk belajar ilmu agama. Abu Bakar Al-Rozi Al-Jashash dalam Ahkamul Qur'an, hlm. 4/374, dalam menjelaskan maksud QS At-Taubah 922, menyatakan ูˆููŠ ู‡ุฐู‡ ุงู„ุขูŠุฉ ุฏู„ุงู„ุฉ ุนู„ู‰ ูˆุฌูˆุจ ุทู„ุจ ุงู„ุนู„ู… ูˆุฃู†ู‡ ู…ุน ุฐู„ูƒ ูุฑุถ ุนู„ู‰ ุงู„ูƒูุงูŠุฉ ุŒ ู„ู…ุง ุชุถู…ู†ุช ู…ู† ุงู„ุฃู…ุฑ ุจู†ูุฑ ุงู„ุทุงุฆูุฉ ู…ู† ุงู„ูุฑู‚ุฉ ู„ู„ุชูู‚ู‡ ุŒ ูˆุฃู…ุฑ ุงู„ุจุงู‚ูŠู† ุจุงู„ู‚ุนูˆุฏ Artinya Ayat ini menunjukkan wajibnya mencari ilmu dan sifatnya fardhu kifayah karena dalam ayat ini terkandung perintah pada sebagian golongan untuk berangkat menuntut ilmu dan memerintahkan yang lain untuk tinggal di rumah. 4. Boleh. Tidak ada larangan untuk itu. Yang prinsip adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Terlepas dari itu, semua perbuatan di dunia yang dilakukan karena Allah, bukan karena manusia, itu disebut perbuatan yang ikhlas. Baik murni karena cinta pada Allah, atau ingin surga Allah, atau takut pada neraka Allah itu semua masuk dalam kategori ikhlas. Bukan riya. Dan karena itu semuanya baik. Pengkategorian ikhlas menjadi seperti di atas itu adalah ajaran kaum sufi. Bukan berdasarkan pada dalil Quran dan hadits. Robiah Al-Adawiyah, salah satu tokoh sufi, membagi ikhlas menjadi tiga ุฃู† ู…ุฑุงุชุจ ุงู„ุงุฎู„ุงุต ุซู„ุงุซุงู„ุงูˆู„ู‰ ุฃู† ุชุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุทู„ุจุง ู„ู„ุซูˆุงุจ ูˆู‡ุฑุจุง ู…ู† ุงู„ุนู‚ุงุจุŒ ุงู„ุซุงู†ูŠุฉ ุฃู† ุชุนุจุฏู‡ ู„ุชุชุดุฑู ุจุนุจุงุฏุชู‡ ูˆุงู„ู†ุณุจุฉ ุฅู„ูŠู‡ุŒ ูˆุงู„ุซุงู„ุซุฉ ุฃู† ุชุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ู„ุฐุงุชู‡ ู„ุง ู„ุทู…ุน ููŠ ุฌู†ุชู‡ ูˆู„ุง ู„ู‡ุฑุจ ู…ู† ู†ุงุฑู‡ - ูˆู‡ูŠ ุฃุนู„ุงู‡ุง - ู„ุงู†ู‡ุง ู…ุฑุชุจุฉ ุงู„ุตุฏูŠู‚ูŠู† Artinya keikhlasan itu terbagi menjadi 3 derajat Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap pahala surga dan takut pada siksa neraka. Kedua, beribadah kepada Allah untuk menghormati-Nya dan mendekatkan diri beribadah kepada Allah demi Dia bukan karena mengharap surga-Nya dan bukan karena takut neraka-Nya. Lihat, Al-Bakri dalam Ianah Al-Tholibin, hlm. 4/386 Baca detail Derajat Ikhlas Menurut Sufi dan Non-Sufi 5. Dalam kacamata syariah, itu sama saja. Orang yang mengharap ridha Allah akan mendapatkan ridhaNya dan orang yang mendapat ridho Allah akan mendapatkan surga. Dalam QS At-Taubah 9100 Allah berfirmanOrang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. Seperti disebutkan di atas, pembagian ikhlas menjadi tiga adalah klasifikasi kalangan sufi. Bukan kalangan ulama mainstream. Ulama mainstream umumnya dalam soal akhirat berpegang penuh pada dalil Quran dan hadits karena itu masalah ghaib. Dan dalam Al-Quran maupun hadits, bertakwa karena mengharapkan surga dan takut neraka itu adalah sikap yang syar'i.

Kuncikeberkahan dari ilmu tasawuf ada di tangan Guru Mursyid, maka sudah selayaknya seorang salik dapat menjaga sopan santunnya, menjaga kepatuhan dan ketaatan pada Mursyidnya. Harus pasrah dan percaya pada kebijaksanaan Mursyid, ibarat pasrahnya jenasah pada orang yang memandikannya. Perjalanan yang ditempuh para salik sangat panjang dan

Sufisme merupakan salah satu tradisi tasawuf yang berasal dari agama-agama dunia, khususnya Islam. Apa yang menjadi ciri khas dan karakter dari tasawuf ini adalah motif mereka dalam melakukan suatu pencarian mistik mystical quest dan oleh karena itu menjalankan perjalanan spiritual menuju Tuhannya Realitas yang sejati, absolut dan hakiki. Terkait dengan definisi Tasawuf sendiri, di sini penulis mengambil definisi dari Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 yang mengatakan bahwa Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritualitas, dan spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Karena keterkaitannya dengan agama yakni Islam, maka kebanyakan kaum arif[1] meyakini bahwa penamaan khusus kehidupan mistis direpresentasikan dalam gabungan antara syariโ€™at, tarekat tharรฎqah, dan hakikat haqรฎqah. Artinya, mencapai hakikat adalah dengan berpegang pada substansi agama dan hukum-hukumnya dengan memelihara lahiriah syariat.[2] Demikian pula yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang harus dipandang bidโ€™ah dalam kaitannya dengan ibadah syariโ€™at, melainkan sebagai pelengkap dan sekaligus hiasan bagi ibadah-ibadah formal kita sehari-hari, yang sering kita rasakan telah kehilangan makna spiritualnya. Dalam keterbatasan penulis di sini, penulis hendak membatasi makalah ini pada penjelasan mengenai gagasan sentral dalam sufisme Islam yakni mengenai 3 level perjalanan spiritual yang dikenal dengan Syariโ€™at, Tarekat, Hakikat yang dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan istilah The Law, The Way and The truth. Di sini pun kami akan menambahkan makrifat maโ€™rifah yang juga dikatakan sebagai salah satu tahapan dalam melakukan perjalanan spiritual, serta akan mencoba secara sepintas memaparkan mengenai intergrasi antara level-level tersebut. BAB II PEMBAHASAN 1. SYARIAT Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata ุดูŽุฑูŽุนูŽ โ€“ ูŠูŽุดู’ุฑูŽุนู โ€“ ุดูŽุฑู’ุนู‹ุง yang berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam bukunya โ€œStudi Tentang Ushul Fiqihโ€[4] memberi definisi bahwa Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah sumber air yang tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman sumber pedoman.[5] Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik penempuh jalan ruhani menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang diusahakannya. Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang diambil dari buku โ€œSufism and Shariahโ€ yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari. Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat, yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik secara langsung wahyu maupun melalui nabi-Nya itulah yang disebut syariat. Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan. Syariat bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu. Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat, karena menurut mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan. Mereka yang lebih maju dalam sufisme membutuhkan ibadah sepuluh kali lipat ketimbang pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada pengabdian dan perolehan mereka dikondisikan atas keistikomahannya menaati syariat.โ€™[6] Adapun ketika seseorang mencapai kasyf penyingkapan, maka kasyf itu tidak bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini memproduksi syariat baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide yang didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan mabuk dan dianggap tidak benar. Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya memuat syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf bisa disejajarkan dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf itu bisa menguak makna-makna dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu. 2. TAREKAT Tarekat secara bahasa berasal dari kata ุงู„ุทูŽู‘ุฑูŠู’ู‚ู jamaknya ุทูุฑูู‚ dan ุงูŽุทู’ุฑูู‚ yang bermakna jalan, lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi ุงู„ุทูŽู‘ุฑูŠู’ู‚ูŽุฉู yang bermakna jalan atau metode. Istilah tarekat ini menunjuk pada metode penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-hukum syariat. Semua muslim wajib menerapkan syariat, namun ada sebagian muslim yang hanya berfokus pada kewajiban-kewajiban ibadah dan ada sebagian lagi yang selain fokus pada kewajiban-kewajiban ibadah juga memperhatikan adab, akhlak, dan sisi batin dari syariat itu, yang sebetulnya semua itu sudah dijelaskan dalam syariat. Dalam Mystical Dimensions Of Islam, Annemarie Schimmel memberikan definisi tarekat yaitu โ€œThe tariqa, the โ€œpathโ€ on which the mystics walk, has been defined as โ€œthe path which comes out of the sharia, for the main road is called shari, the path, tariq.โ€ This derivation shows that the Sufiโ€™s considered the path of mystical education a branch of that high -way that consists of the God-given law, on which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the binding injunctions of the sharโ€™ia are not followed faithfully first. The path , tariqa, however, is narrower and more difficult to walk and leads the adeptโ€”called salik, โ€œwayfarerโ€โ€”in his suluk, โ€œwandering,โ€ through different stations maqam until he perhaps reaches, more or less slowly, his goal, the perfect tauhid, the existential confession that God is One.โ€[8] Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus bagi salik penempuh jalan ruhani untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu maโ€™rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama, syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan mereka yang tidak melakukan disiplin diri. Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan, sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan, milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat kepemilikan hanya milik Allah. Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat punya tiga bagian, yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni ikhlas. Setiap salik harus mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah. Ketika ia sudah mengetahui, maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata perbuatan itu ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah ikhlas, dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan karena manusia cenderung memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan Allah larang. Selain itu manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam setiap tindakannya mukhlis, sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya mukhlas, metode itulah yang disebut tarekat. Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan melakukan apapun yang Dia syariatkan dan memurnikan tujuan dari tujuan-tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga yang mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan tauhid. Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat, yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya berjuang dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha dengan giat dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan, agar hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu.[9] Yang kedua adalah riyadhah. Riyadhah Olah Ruhani bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri, keluarga, dan masyarakat sosial.[10] Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah. Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses yang ketiga adalah muahasabah. Yang terakhir adalah muhasabah. Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah Azza wa Jalla dan apa yang disukai-Nya.[11] Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang akan datang. Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan datang telah ditentukan oleh al-Qurโ€™an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah adalah dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf rasa takut dan rajaโ€™ harapan. Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul pada abad 11. Awalnya merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim.[12] Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid yang dibimbing menuju hakikat sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang dinisbahkan pada mursyid tertentu yang dianggap punya metode tersendiri yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs as-Suhrawardi, Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran dan praktik-praktik tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi lingkaran kelompoknya.[13] 3. HAKIKAT A. Pengertian Hakikat Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat Haqiqah seakar dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syariโ€™at yang merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat jalan sebagai tahapan esoterisme, sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.[14] Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syariโ€™at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari syariโ€™at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan.[15] Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik.[16] Sementara penafsiran Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana banyak para sufi menyebut diri mereka ahl-haqiqahโ€™ dalam pengertian sebagai pencerminan obsesi mereka terhadap kebenaran yang hakikiโ€™ kebenaran yang esensial. Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj w. 922 yang mengungkapkan kalimat ana al-Haqqโ€™ Aku adalah Tuhan. Obsesi terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula la ilaha illa Allahโ€™ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allahโ€™. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan. Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan pemberi wujud.[17] Pernyataan la ilaha illa Allahโ€™ ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep fanaโ€™ , atau fana al-fanaโ€™yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fanaโ€™ dan baqaโ€™ ini dipandang sebagai stasionโ€™ maqam terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, โ€œLobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.โ€[18] B. Fanaโ€™ dan Baqaโ€™ sebagai ciri khas Hakikat Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan Ana al-Haqqโ€™ yang berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat la ilaha illa Allahโ€™ tidak lagi kita artikan Tiada Tuhan selain Allahโ€™, melainkan Tidak ada realitas hakikat yang sejati kecuali Allahโ€™. Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu. Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fanaโ€™. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqaโ€™, saat ketika seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak Persia, The true lover finds light only if, like the candle, he is his own fuel, consuming himself. Attar of Neishapur w. 1230 Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya sendiri, memakan dirinya sendiri. Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan gambaran seekor ngengat yang diumpamakan sebagai jiwa manusia yang sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin yang diumpamakan sebagai Kebenaran hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah konsep mengenai fana dan baqaโ€™. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai annihilationโ€™, extinctionโ€™, atau cessation of beingโ€™, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata kerja to beโ€™, dan mengacu pada istilah Jerman tradisional Entwerden, de- becomingโ€™, sebagai yang lebih akurat.[19] Nah, di sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar. Fanaโ€™ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika proses ini selesai, maka baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi pun terbangun โ€“ kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, kesatuanโ€™ dengan Tuhan. Konsep mengenai fanaโ€™ dan baqaโ€™ ini telah ditafsirkan sebagai kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas salah satu pengertian dari tarekat atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan Tuhan. [20] 4. MAKRIFAT A. Pengertian Makrifat Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat dari beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai berikut Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain. Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat;Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah menguasai syariโ€™at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti thariqah dari mistik, dan jalanโ€™ yang mengantarkan pada pengetahuan yang lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat, kebenaran, atau makrifat, gnosis. Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami sebagai suatu stasion atau keadaan state, First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge that comes after that asceticism. The ultimate knowerโ€™ is worth a hundred thousand ascetics. Jalal al-Din Rumi[21] Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan. kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami, menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas. Akan tetapi, berhubungan dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi. Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata arafa, yuโ€™rifu, irfan, maโ€™arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan. Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafahcemas terhadap Tuhan dan mahabbah cinta.[22] Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual thariqat. Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati. Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam[23] Pertama, makrifat kalangan orang awam orang banyak pada umumnya, tauhid melalui makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. Dan makrifat inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini. Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya. Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syariโ€™at, hukum Allah untuk kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke dalam hakikat kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensi. Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang disebut makrifatโ€™ pengetahuan.[24] Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan usaha keras dalam waktu yang panjang.[25] Baik lewat meditasi, tazkiyatun nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik. Zybura dalam esainya mengatakan bahwa selain dari 3 tingkatan yang telah dideskripsikan dalam pencarian menuju kesatuan dengan Tuhan, ada lagi tahapan-tahapan yang lebih banyak yang secara umum dibedakan sebagai stasion station/ maqam. Pencapaian pada tiap maqam tergantung kepada perbandingan dari anak tangga-anak tangga yang kita daki dengan upaya kita sendiri, dan kondisiโ€™ state/ahwal sendiri merupakan hadiah dari Tuhan yang lebih sulit lagi untuk diklasifikasikan.[26] Untuk lebih jauh membahas mengenai makrifat ini, penulis memilih untuk memaparkannya melalui penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara. B. Pengetahuan Sejati dan Perbedaannya dengan Ilmu Pengetahuan Yang dimaksud dengan makrifat sebagai pengetahuan sejati/hakiki tidak sama dengan ilm yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan. Pertama-tama yang membedakannya adalah cara perolehannya dimana ilmu pengetahuan diperoleh secara hushuli melalui mediasi/representasi, tidak secara langsung. Sementara makrifat diperoleh secara hudhuri, langsung hadir dalam intuisi manusia dan dialami secara langsung. Perbedaan lainnya terletak pada objek dari pengetahuan itu sendiri. Adapun objek dari ilmu pengetahuan adalah objek-objek yang bersifat fisik, sementara objek dari makrifat kebanyakan bersifat non-fisik. Secara rincinya, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menguraikan perbedaan antara keduanya dalam tabel berikut, SisiIlmu Pengetahuan IlmPengetahuan Sejati MakrifatPerolehanHushuli Tidak Langsung, dipelajari, representasiHudhuri Langsung, dialamiObjekDi luar diri subjek, mahsusat terindra, fisik atau juga maโ€™qulatHadir begitu saja ke dalam jiwa atau kesadaran seseorang, kebanyakan non- fisik maโ€™qulat.InstrumenIndra dan AkalIntuisi/HatiSifatTidak Orisinil langsung dari si subjek, kecuali dari otoritas orang terdahulu yang pertama kali menemukannya dan langsung dari Tuhan, bukan melalui simbol-simbol seperti buku, perkataan orang lain, dsb.Tataran PengalamanIndrawi dan rasionalIntuitifKepastianTidak mendatangkan kepastian intuitifMendatangkan kepastian intuitifJarak antara subjek dan objekAda dualisme Ada jarak yang lebar antara subjek dan objekAntara subjek dan objek terdapat keintiman, sebagaimana konsep kesatuan dari pengetahuan, yang mengetahui dan yang diketahui alim, ilm, dan maโ€™lumPencapaianMelalui upaya keras dan bisa upaya keras namun pencapaian tergantung pada kemurahan BahtsiIntuitif Dzawqi Dari segi objek, meskipun ilmu-ilmu rasional juga sama-sama menangkap maโ€™qulat, sebagaimana intuisi, tetapi cara di antara keduanya berbeda. Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapanโ€™ mukasyafah atau penyinaranโ€™ iluminasi dan penyaksianโ€™ musyahadah. Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.[27] Secara sederhana Mulyadhi Kartanegara memberikan analogi mengenai bahwa kepastian intuitif yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang dialami secara langsung laksana orang yang mengetahui manis dengan mencicipi butiran gula. Kita tidak dapat mengetahui rasa manis melalui pengkajian akan definisi atau konsepsi mengenai manis. Atau pun melalui membaca buku-buku tebal yang menjelaskan mengenai rasa gula maupun asal usul gula. Selama apa pun kita pelajari semua itu selama lidah kita tidak merasakannya sendiri maka kita tidak akan pernah mengetahui rasa manis yang sebenarnya. Karena manis tidak bisa kita ketahui melalui rangkaian huruf dari kata Untuk mengetahui manis maka kita harus mendatangi yang empunya manis itu sendiri gula, dan merasakannya sendiri secara langsung. Kesatuan pengetahuan dan yang diketahui dijelaskan dengan ilmu hudhuri bahwa objek diketahui secara langsung setelah dihadirkan dalam kesadaran jiwa seseorang. Ketika objek hadir dalam kesadaran diri maka objek itu dapat teridentifikasi dengan diri sendiri, ketika itu terjadi maka objek-objek itu menjadi dirinya, maka keintiman pengetahuan itu kini sama dengan terhadap diri sendiri, sementara pengetahuan tentang diri sendiri dapat kita ketahui secara langsung tanpa harus ada pemilahan antara subjek dan objek. Maka dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini merujuk pada entitas yang sama dan satu diri kita sendiri. Makrifat juga diandaikan seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan yang menyilaukan. Bagai kaca yang bersih dan selalu dibersihkan sehingga kemudian cahaya mampu memasukinya dan menerangi jantung rumah dan beriluminasi menerangi semua yang tersembunyi/ tak nampak. C. Analogi Rumi Makrifat bagai Mutiara di Dasar Laut Jalal al-Din Rumi pernah mengumpamakan makrifat sebagai mutiara di dalam kerang yang berada di dasar laut karena keindahannya yang membuat banyak orang menyukainya. Menurut Rumi makrifat tidak dapat diperoleh secara inderawi, karena hal itu sama saja dengan mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut dengan hanya datang dan memandangi laut dari darat. Sedangkan makrifat juga tidak bisa diperoleh melalui penggalian nalar, karena hal demikian sama saja dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu sendiri. Agar bisa mendapatkan mutiara makrifat itu, maka dibutuhkan penyelam yang ulung dan beruntung, yakni seorang mursyid yang berpengalaman. Rumi mengatakan butuh pada penyelam yang ulung dan beruntung karena pencapaian itu bergantung pada kemurahan Tuhan. Karena tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba. Menyelam di sini diartikan sebagai menyelami lubuk atau dasar hati kita yang dalam. Karena laut itu begitu dalam, maka dibutuhkan penyelam mursyid yang benar-benar professional dalam teknik penyelaman. Cara menyelam inilah yang kita sebut dengan metode intuitif. 5. INTEGRASI ANTARA SYARIโ€™AT, TAREKAT DAN HAKIKAT Dalam pemaparan ini penulis hanya akan membahas relasi antara syariat, tarekat dan hakikat secara sepintas karena keterbatasan pemahaman yang penulis miliki. Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa Syariat berbeda dengan Tarekat, dan Tarekat berbeda dengan Hakikat. Mereka membayangkan bahwa ada perbedaan yang pasti yang melekat pada setiap level nya, kemudian mereka melekatkan hal-hal tertentu pada masing-masingnya yang mana pengatribusian itu tidaklah tepat, khususnya bagi kelompok sufi.[28] Adapun miskonsepsi ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi-kondisi spiritual yang beragam various spiritual states pada setiap levelnya dan juga kekurang pemahaman mereka akan keimanan dan prinsip-prinsip mereka sendiri. Apa yang harus diklarifikasi adalah bahwa Syariโ€™at, Tarekat maupun hakikat merupakan sinonim bagi kebenaran yang satu meskipun istilahnya berbeda-beda. Sesungguhnya pada setiap 3 level itu adalah merupakan prasyarat bagi level yang lainnya. Dan keseluruhannya satu sama lain saling terkoneksi. Adapun penjelasannya yang lebih lebar akan dikupas berdasarkan pada pandangan Sayyid Haydar Amuli mengenai koneksi antara 3 level ini. Hal yang pertama-tama mesti kita ketahui adalah bahwa ketiga nama tersebut Syariat, Tarekat maupun Hakikat merupakan aspek-aspek dari satu realitas. Yang kedua, meskipun ketiganya berasal dari realitas yang satu, tapi sangat perlu kita ketahui bahwa orang-orang hakikat lebih tinggi dari orang-orang tarekat, demikian pula orang-orang tarekat lebih tinggi dari orang-orang syariโ€™at,[29]dan tak ada penyimpangan apapun yang ditemukan dalam tingkatan tersebut. Sekedar menyebutkan kembali bahwa Syariโ€™at adalah nama dari jalan yang diberikan Tuhan yang sudah ada sebelum kehidupan manusia di dunia ini. Syariโ€™at meliputi ushul al-din dan furuโ€™ al-din, juga meliputi kewajiban-kewajiban dan petunjuk-petunjuk yang mengakui adanya tingkatan tertentu akan pilihan manusia dari segi metode atau waktu mereka dalam menjalani kewajiban-kewajiban mereka. Pun meliputi seluruh tindakan-tindakan yang paling baik di hadapan Tuhan. Sedangkan tarekat adalah jalan dari kebijaksanaan tertinggi. Jalan dari tindakan yang paling baik dan paling meyakinkan. Dengan demikian, jalan apapun yang mengantarkan manusia kepada yang terbaik dan paling meyakinkan dalam perkataan maupun tindakan, dalam karakternya yang ia peroleh, ataupun kondisi-kondisi states yang ia alami, maka disebut dengan tarekat. Hakikat adalah afirmasi akan eksistensi wujud, baik melalui penyingkapan dan penyaksian substansinya, atau dengan mengalami keadaan spiritual, atau mengafirmasi akan Ketunggalan Tuhan. Dengan demikian, Sayyid Haydar Amuli dalam Jamiโ€™ al-Asrar hendak mengatakan bahwa makna dari Syariโ€™at adalah bahwa kamu beribadah kepada-Nya, dan Tarekat adalah kamu mencapai kehadiran-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu menyaksikan-Nya.[30] Adapun Zybura menggambarkan relasi antar ketiga level dalam bagan berikut, 1. Syariโ€™at2. TarekatIslam eksoterik ZhahirIslam Esoterik BathinPenafsiran al-Qurโ€™an secara Literal TafsirPenafsiran al-Qurโ€™an secara alegoris Taโ€™wilโ€œMilikmu adalah Milikmu,โ€œMilikmu adalah Milikmu,Milikku adalah Milikku.โ€Milikku adalah Milikmu juga.โ€3. Hakikat/ Makrifatโ€œThere is neither mine nor thineโ€ Sudah terang dikatakan bahwa syariโ€™at berarti kamu dipertahankan dan terpelihara dalam eksistensi oleh perintah-Nya, tarekat adalah bahwa kamu melaksanakan perintah-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu ada oleh dan dalam diri-Nya. Ketiga level ini tercakup oleh syariโ€™at Islam dan sama sekali tidak di luar darinya. Allah telah mengacu kepada tiga level ini dengan frase ilm al-yaqinKepastian Pengetahuan, ayn al-yaqin kepastian penglihatan atau pengalaman, dan haqq al-yaqinkepastian kebenaran realitas. Terdapat level-level manusia yang berbeda, yakni ada yang awam dan yang elit, dan yang elit dari yang elit Diumpamakan sebagai Permulaan Beginning, antara Intermediate, Akhir Final. Dengan demikian, Syariโ€™at adalah nama dari hukum Tuhan dan pola perilaku Nabi, dan juga merupakan permulaan. Tarekat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan intermediate dan hakikat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan akhir. Tak ada lagi tingkatan yang ada di luar dari ketiga level ini. Bagaimanapun, Syariโ€™at itu mungkin meskipun tanpa tarekat, akan tetapi tarekat tidak akan mungkin jika tanpa syariโ€™at; demikian pula, tarekat itu mungkin tanpa hakikat, tapi hakikat tanpa tarekat itu tidak mungkin. Hal ini karena setiap level itu adalah penyempurna bagi yang lainnya. Oleh karena itu, meskipun tidak terdapat kontradiksi antara tiga level tersebut, namun kesempurnaan dari Syariโ€™at hanya mungkin diperoleh melalui tarekat dan begitu pula dengan tarekat yang hanya mungkin didapatkan kesempurnaannya melalui hakikat. Deskripsi bahwa tiap level itu tidak kontradiksi dijelaskan oleh Sayyid Haidar Amuli sebagai berikut Para ahli syariโ€™at dianalogikan sebagai para Fuqahaโ€™ serta kondisi-kondisi ahli tarekat dianalogikan sebagai para sarjana dan filosof beserta stasion-stasion Hakikat dianalogikan sebagai sufi/gnostik, beserta stasion-stasion mereka.[31] Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, maka kesempurnaan dari kesempurnaan tergabung secara bersamaan dalam ketiga level. Karena jumlah dari dua hal, atau dua keadaan ketika digabungkan bersama sudah pasti lebih baik dan lebih sempurna dari pada yang dua ketika dalam keadaan terpisah. Oleh karena itu, orang-orang hakikat lebih superior dalam hubungannya dengan orang-orang syariโ€™at dan tarekat.[32] BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian singkat di atas pemakalah menyimpulkan bahwa antara syariat, tarekat, makrifat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Syariat adalah landasan awal menuju hakikat dan penyingkapan hakikat tidak menggugurkan syariat, bahkan menguatkan kebenaran syariat. Jika bertentangan maka penyingkapan tersebut diragukan, yang boleh jadi itu adalah kerjaan setan. Untuk sampai pada hakikat, maka dibutuhkan metode dan disiplin diri yang aturan dasarnya sudah ditentukan oleh syariat. Proses menuju realitas sejati hakikat inilah yang disebut tarekat. Ketika selubung hijab terbuka maka tampaklah realitas sejati, maka saat itu pula penempuh jalan spiritual memperoleh makrifat. Sebagai penutup kami nukilkan sebuah hadis yang dinukil oleh Syaikh Sayyid Haidar Amuli. Rasulullah SAW bersabda, โ€œSyariat adalah ucapanku, tarekat adalah perilakuku, hakikat adalah halku, makrifat adalah modalku, akal adalah pilar agamaku, cinta adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa takut adalah sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qanaโ€™ah adalah harta simpananku, kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah tempat kembaliku, dan kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua itu, aku memiliki keunggulan atas seluruh nabi.โ€[33] [1] Arif adalah istilah yang digunakan bagi orang yang telah mencapai maโ€™rifah hakiki. Pembahasan mengenai maโ€™rifah hakiki akan dibahas di dalam makalah pada bab berikutnya. [2] Pernyataan ini didapatkan dari potongan tulisan yang berjudul Islamic Mysticism 1 Question and Answer mengenai Prinsip-prinsip Mistisisme Teoritis. Tulisan ini merupakan bahan kuliah the study of Comparative Mysticism yang dibimbing oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. Beliau mengatakan bahwa fondasi dasar Islam adalah rukun Islam yang menjadi prinsip-prinsip dasar agama ushuluddin, sementara dalam mencapai tujuan tertinggi dalam beragama adalah dengan melalui pengetahuan dan aksi dalam akar-akar agama ushul dan cabang-cabangnya furuโ€™. Adapun yang ushul berfungsi untuk mensucikan kehidupan batin, sementara yang furuโ€™ untuk mensucikan kehidupan lahir. Maka siapapun yang memiliki keinginan untuk mensucikan diri secara lahir maupun bathin, maka harus mendirikan ushul dan furuโ€™ dalam kerangka tiga level dari Syariโ€™at, Tarekat dan Hakikat. [3] Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap [4] Diterjemahkan dari Studies in Usul ul-Fiqh, diterbitkan oleh Islamic Cultural Workshop, Walnut USA [5] Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqih, Bogor Pustaka Thariqul Izzah, 2007, hal. 8 [6] Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shariah A Study of Shaykh Ahmad Sirhindiโ€™s Effort to Reform Sufism, The Islamic Foundation , 1990, hal 75 [7] Ibid, hal. 71 [8] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions Of Islam, USA The University of North Carolina Press, 1975, hal. 98 [9] Kafie, Tasawuf Kontemporer, Jakarta Penerbit Republika, 2003, hal. 58 [10] Ibid, hal. 70 [11] Muhasibi, Sebuah Karya Klasik Tasawuf Memelihara Hak-Hak Allah. Diterj. Abdul Halim, Bandung Pustaka Hidayah, 2006, hal. 53 [12] Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf. Penerj. Arif Anwar, Yogyakarkat Penerbit Pustaka Sufi, 2003, hal 153 [13] Ibid, hal. 162 [14] Kata yang bergaris miring merupakan pendapat dari penulis. [15] Pengertian ini penulis dapatkan dari slide power point dalam mata kuliah Islamic Mysticism yang dibuat oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. ICAS Jakarta, 2005. Setelah penulis coba selidiki akan sumber referensinya, maka kemungkinan pengertian ini didapatkan dari sebuah buku karya Sayyid Haidar Amuli. The Inner secrets of The Path Dorset Element Books, 1989. [16] Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufism and Shariโ€™ah, A study of syakh Ahmad Sirhindiโ€™s Effort to reform Sufism, Malaysia The Islamic Foundation, 1990, Hal. 74. [17] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta Penerbit Erlangga, 2006, Hal. 6. [18] Ibid, hal. 9. [19][19] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, Quelle 1999, hal. 4. Lihat juga Schimmel, A.; hal. 142 and Denny, hal. 233. [20] Ibid., hal. 4-5. [21] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, Quelle 1999, hal. 5. Lihat juga Shah, I.; The Way of the Sufi;hal. 189. [22] Al-Ghazali dan al-Qushairi berbeda pendapat mengenai urutan manakah yang lebih dahulu antara makrifat dan mahabbah. Al-Ghazali berpendapat bahwa kita tidak akan mampu mencintai Tuhan tanpa mengenal Tuhan terlebih dahulu, sehingga menurut al-Ghazali urutan makrifat ada di bawah mahabbah. Sementara al-Qushairi berpandangan bahwa karena kecintaan pada Allah maka melahirkan pengetahuan hakiki Ilahi Makrifat, sehingga menurut pandangan ini, Makrifat menjadi tujuan akhir dan tujuan tertinggi di atas mahabbah. Adapun pengetahuan penulis hanya terbatas pada pemaparan mengenai perbedaan ini.

ilmuKhodam Malaikat tidak hanya bermanfaat bagi anda tetapi juga bisa untuk menolong sesama Their Knowledge in Magick transcends All religions and Magick types In Indonesia there is "Ilmu Khodam dengan anda memerintahkan khodam mustika ini maka datanglah para bidadari ghoib yang sesuai tujuan anda Khodam juga tidak bisa berkomunikasi dengan Jakarta Apa itu makrifat? Memahami makrifat adalah bagian dari pengetahuan. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menjelaskan pengertian makrifat adalah bagian dari tingkat penyerahan diri kepada Tuhan, yang naik setingkat demi setingkat sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat. Pengertian Istihsan adalah Upaya Menetapkan Hukum, Ini Pendapat Ulama dan Macamnya Tasawuf Adalah Ilmu Penting dalam Islam, Kenali Sejarah dan Prinsipnya Sufi adalah Ahli Ilmu Tasawuf, Pahami Pengertian, Sejarah, dan Prinsipnya Bagaimana Islam memandang tentang makrifat dan kepada siapa saja makrifat itu melekat? Orang yang memahami tentang makrifat adalah arif bijaksana, cerdik dan pandai, atau berilmu. Tidak sembarangan orang bisa memahami tentang makrifat. Makrifat adalah ilmu tasawuf untuk memahami lebih dekat tentang Tuhannya. Dalam buku berjudul Akhlak Tasawuf oleh Abuddin Nata, pengertian makrifat adalah upaya penghayatan kepada Allah SWT makrifatullah menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf. Itu pengertian singkat tentang makrifat. Berikut ulas lebih mendalam tentang pengertian makrifat, tanda, dan macam-macamnya, Rabu 12/1/2022.Masjid Jami Al-Islam mulai didirikan tahun 1770 oleh bangsawan ulama dari Minangkabau, Sultan Raja Burhanuddin. Tempat ibadah ini terletak di Jalan KS Tubun Nomor 61 Jakarta Pusat, merupakan saksi perjuangan Islam di Al-Quran. Sumber pixabayDalam Kamus al-Munawwir oleh Ahmad Warson Munawwir, pengertian makrifat adalah berasal dari kata `arafa, yuโ€™rifu, irfan, memiliki arti mengetahui atau mengenal. Orang yang memahami tentang makrifat adalah arif bijaksana, cerdik dan pandai, atau berilmu. Dalam Islam, makrifat adalah ilmu tasawuf untuk memahami lebih dekat tentang Tuhannya. Dalam buku berjudul Akhlak Tasawuf oleh Abuddin Nata, pengertian makrifat adalah upaya penghayatan kepada Allah SWT makrifatullah menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf. Tidak sembarangan orang bisa memahami tentang makrifat. Dijelaskan lebih mendalam, makrifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan bersifat eksoteris zahiri, tetapi lebih mendalam terhadap peekanan esoteris batiniyyah dengan memahami rahasia-Nya. Pemahaman makrifat adalah berwujud penghayatan atau pengalaman jiwa. Pengetahuan makrifat adalah lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapat orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun. Itulah pengertian dan pemahaman makrifat yang perlu MakrifatIlustrasi Al-Qur'an. Credit tanda seseorang mendapat makrifat? Dalam buku berjudul Rahasia Shalatnya Orang-Orang Makrifat oleh Imam al-Ghazali, dijelaskan makrifatullah adalah pengetahuan yang di dalam hati tidak memiliki keraguan terhadap zat dan sifat Allah SWT. Tanda makrifat adalah bisa berwujud ketika seorang hamba meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah SWT itu wujud, Esa, zat yang Maha Agung, berdiri sendiri, dan tidak ada satupun yang bisa menyerupainya. Meyakini sepenuhnya, Allah SWT hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, dan Maha Melihat dengan segala sifat-Nya. Dalam buku berjudul Risalah Sufi al-Qusyayri oleh Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, menjelaskan salah satu tanda makrifat adalah tercapainya rasa ketentraman dalam hati, semakin orang bertambah makrifatnya maka akan semakin bertambah ketentramannya. Apa yang diketahuinya dari pengalaman itu, memberi ketenangan hati. โ€œIngatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,โ€ QS. Yunus 62. Hal yang sama dijelaskan oleh Harun Nasution melansir kajian teori penelitian yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Walisongo, pada Rabu 12/1/2022 orang dengan kemakrifatan memiliki tanda sebagai berikut 1. Tanda makrifat adalah bagi orang arif mereka bangga dalam kepapaannya, apabila disebut nama Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa miskin. 2. Tanda makrifat adalah jika mata yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. 3. Tanda makrifat adalah memahami bahwa makrifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT. 4. Tanda makrifat adalah semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah Allah SWT. 5. Tanda makrifat adalah seandainya makrifat berupa bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat luar biasa cantik serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan dengan cahaya keindahan yang sangat gemilang MakrifatIlustrasi Al-Qurโ€™an. Credit tiga macam makrifat yang bisa dipahami untuk mengenal lebih dekat dengan Allah SWT. Dalam buku berjudul Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme oleh A Rivay Siregar, Zu al-Nun al-Misri membagi makrifat menjadi tiga. Apa saja? 1. Makrifat al-Tauhid Awam Ini sebagai makrifatnya orang awam, yaitu makrifat yang diperoleh kaum awam dalam mengenal Allah SWT. Melalui perantara syahadat, tanpa disertai dengan argumentasi. Makrifat jenis inilah yang pada umumya dimiliki oleh orang muslim. Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan menurut, mudah mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan secara mendalam. 2. Makrifat al-Burhan wa al-Istidlal Khas Ini merupakan makrifatnya mutakalimin dan filsuf metode akal budi, yaitu makrifat tentang Allah SWT melalui pemikiran dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir spekulatif. Makrifat jenis kedua ini banyak dimiliki oleh kaum ilmuan, filsuf, sastrawan, dan termasuk dalam golongan orang-orang khas. Golongan ini memiliki ketajaman intelektual, sehingga akan meneliti, memerikasa membandingkan dengan segenap kekuatan akalnya. 3. Makrifat Hakiki khawas al-khawas Ini merupakan makrifat Waliyullah, yaitu makrifat tentang Allah SWT melalui sifat dan ke-Esa-an-Nya, diperoleh melalui hati nuraninya. Makrifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena makrifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian. Melainkan anugerah dari Allah SWT kepada orang-orang sufi atau auliyaโ€™ yang ikhlas dalam beribadah dan mencintai Allah SWT. * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. HAKEKAT= Ujud, Ilmu, Nur, Syuhud yang dinamakan Syaiun (Muhammad) Nasihat Mati 4. MAKRIFAT = Dzat, Sifat, Af'al, Asma yang dinamakan Allah AlยญQur'an Tandaยญtanda Mati Islam SIRI DELAPAN Sholat Sakratul Maut 1. Ibadah orang SYAREAT = Mengerjakan segala Rukun Islam yang lima Zikir Mati Sebelum Mati 2.

Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat Sufisme merupakan salah satu tradisi tasawuf yang berasal dari agama-agama dunia, khususnya Islam. Apa yang menjadi ciri khas dan karakter dari tasawuf ini adalah motif mereka dalam melakukan suatu pencarian mistik mystical quest dan oleh karena itu menjalankan perjalanan spiritual menuju Tuhannya Realitas yang sejati, absolut dan hakiki. Terkait dengan definisi Tasawuf sendiri, di sini penulis mengambil definisi dari Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 yang mengatakan bahwa Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritualitas, dan spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Karena keterkaitannya dengan agama yakni Islam, maka kebanyakan kaum arif[1] meyakini bahwa penamaan khusus kehidupan mistis direpresentasikan dalam gabungan antara syariโ€™at, tarekat tharรฎqah, dan hakikat haqรฎqah. Artinya, mencapai hakikat adalah dengan berpegang pada substansi agama dan hukum-hukumnya dengan memelihara lahiriah syariat.[2] Demikian pula yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang harus dipandang bidโ€™ah dalam kaitannya dengan ibadah syariโ€™at, melainkan sebagai pelengkap dan sekaligus hiasan bagi ibadah-ibadah formal kita sehari-hari, yang sering kita rasakan telah kehilangan makna spiritualnya. Dalam keterbatasan penulis di sini, penulis hendak membatasi makalah ini pada penjelasan mengenai gagasan sentral dalam sufisme Islam yakni mengenai 3 level perjalanan spiritual yang dikenal dengan Syariโ€™at, Tarekat, Hakikat yang dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan istilah The Law, The Way and The truth. Di sini pun kami akan menambahkan makrifat maโ€™rifah yang juga dikatakan sebagai salah satu tahapan dalam melakukan perjalanan spiritual, serta akan mencoba secara sepintas memaparkan mengenai intergrasi antara level-level tersebut. BAB II PEMBAHASAN SYARIAT Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata ุดูŽุฑูŽุนูŽ โ€“ ูŠูŽุดู’ุฑูŽุนู โ€“ ุดูŽุฑู’ุนู‹ุง yang berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam bukunya โ€œStudi Tentang Ushul Fiqihโ€[4] memberi definisi bahwa Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah sumber air yang tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman sumber pedoman.[5] Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik penempuh jalan ruhani menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang diusahakannya. Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang diambil dari buku โ€œSufism and Shariahโ€ yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari. Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat, yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik secara langsung wahyu maupun melalui nabi-Nya itulah yang disebut syariat. Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan. Syariat bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu. Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat, karena menurut mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan. Mereka yang lebih maju dalam sufisme membutuhkan ibadah sepuluh kali lipat ketimbang pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada pengabdian dan perolehan mereka dikondisikan atas keistikomahannya menaati syariat.โ€™[6] Adapun ketika seseorang mencapai kasyf penyingkapan, maka kasyf itu tidak bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini memproduksi syariat baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide yang didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan mabuk dan dianggap tidak benar. Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya memuat syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf bisa disejajarkan dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf itu bisa menguak makna-makna dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu. TAREKAT Tarekat secara bahasa berasal dari kata ุงู„ุทู‘ูŽุฑูŠู’ู‚ู jamaknya ุทูุฑูู‚ dan ุงูŽุทู’ุฑูู‚ yang bermakna jalan, lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi ุงู„ุทู‘ูŽุฑูŠู’ู‚ูŽุฉู yang bermakna jalan atau metode. Istilah tarekat ini menunjuk pada metode penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-hukum syariat. Semua muslim wajib menerapkan syariat, namun ada sebagian muslim yang hanya berfokus pada kewajiban-kewajiban ibadah dan ada sebagian lagi yang selain fokus pada kewajiban-kewajiban ibadah juga memperhatikan adab, akhlak, dan sisi batin dari syariat itu, yang sebetulnya semua itu sudah dijelaskan dalam syariat. Dalam Mystical Dimensions Of Islam, Annemarie Schimmel memberikan definisi tarekat yaitu โ€œThe tariqa, the โ€œpathโ€ on which the mystics walk, has been defined as โ€œthe path which comes out of the sharia, for the main road is called shari, the path, tariq.โ€ This derivation shows that the Sufiโ€™s considered the path of mystical education a branch of that high -way that consists of the God-given law, on which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the binding injunctions of the sharโ€™ia are not followed faithfully first. The path , tariqa, however, is narrower and more difficult to walk and leads the adeptโ€”called salik, โ€œwayfarerโ€โ€”in his suluk, โ€œwandering,โ€ through different stations maqam until he perhaps reaches, more or less slowly, his goal, the perfect tauhid, the existential confession that God is One.โ€[8] Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus bagi salik penempuh jalan ruhani untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu maโ€™rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama, syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan mereka yang tidak melakukan disiplin diri. Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan, sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan, milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat kepemilikan hanya milik Allah. Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat punya tiga bagian, yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni ikhlas. Setiap salik harus mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah. Ketika ia sudah mengetahui, maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata perbuatan itu ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah ikhlas, dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan karena manusia cenderung memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan Allah larang. Selain itu manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam setiap tindakannya mukhlis, sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya mukhlas, metode itulah yang disebut tarekat. Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan melakukan apapun yang Dia syariatkan dan memurnikan tujuan dari tujuan-tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga yang mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan tauhid. Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat, yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya berjuang dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha dengan giat dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan, agar hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu.[9] Yang kedua adalah riyadhah. Riyadhah Olah Ruhani bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri, keluarga, dan masyarakat sosial.[10] Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah. Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses yang ketiga adalah muahasabah. Yang terakhir adalah muhasabah. Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah Azza wa Jalla dan apa yang disukai-Nya.[11] Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang akan datang. Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan datang telah ditentukan oleh al-Qurโ€™an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah adalah dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf rasa takut dan rajaโ€™ harapan. Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul pada abad 11. Awalnya merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim.[12] Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid yang dibimbing menuju hakikat sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang dinisbahkan pada mursyid tertentu yang dianggap punya metode tersendiri yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs as-Suhrawardi, Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran dan praktik-praktik tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi lingkaran kelompoknya.[13] HAKIKAT Pengertian Hakikat Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat Haqiqah seakar dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syariโ€™at yang merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat jalan sebagai tahapan esoterisme, sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.[14] Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syariโ€™at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari syariโ€™at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan.[15] Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik.[16] Sementara penafsiran Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana banyak para sufi menyebut diri mereka ahl-haqiqahโ€™ dalam pengertian sebagai pencerminan obsesi mereka terhadap kebenaran yang hakikiโ€™ kebenaran yang esensial. Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj w. 922 yang mengungkapkan kalimat ana al-Haqqโ€™ Aku adalah Tuhan. Obsesi terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula la ilaha illa Allahโ€™ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allahโ€™. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan. Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan pemberi wujud.[17] Pernyataan la ilaha illa Allahโ€™ ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep fanaโ€™ , atau fana al-fanaโ€™ yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fanaโ€™ dan baqaโ€™ ini dipandang sebagai stasionโ€™ maqam terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, โ€œLobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.โ€[18] Fanaโ€™ dan Baqaโ€™ sebagai ciri khas Hakikat Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan Ana al-Haqqโ€™ yang berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat la ilaha illa Allahโ€™ tidak lagi kita artikan Tiada Tuhan selain Allahโ€™, melainkan Tidak ada realitas hakikat yang sejati kecuali Allahโ€™. Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu. Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fanaโ€™. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqaโ€™, saat ketika seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak Persia, The true lover finds light only if, like the candle, he is his own fuel, consuming himself. Attar of Neishapur w. 1230 Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya sendiri, memakan dirinya sendiri. Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan gambaran seekor ngengat yang diumpamakan sebagai jiwa manusia yang sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin yang diumpamakan sebagai Kebenaran hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah konsep mengenai fana dan baqaโ€™. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai annihilationโ€™, extinctionโ€™, atau cessation of beingโ€™, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata kerja to beโ€™, dan mengacu pada istilah Jerman tradisional Entwerden, de- becomingโ€™, sebagai yang lebih akurat.[19] Nah, di sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar. Fanaโ€™ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika proses ini selesai, maka baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi pun terbangun โ€“ kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, kesatuanโ€™ dengan Tuhan. Konsep mengenai fanaโ€™ dan baqaโ€™ ini telah ditafsirkan sebagai kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas salah satu pengertian dari tarekat atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan Tuhan. [20] MAKRIFAT Pengertian Makrifat Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat dari beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai berikut Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain. Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat; Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah menguasai syariโ€™at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti thariqah dari mistik, dan jalanโ€™ yang mengantarkan pada pengetahuan yang lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat, kebenaran, atau makrifat, gnosis. Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami sebagai suatu stasion atau keadaan state, First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge that comes after that asceticism. The ultimate knowerโ€™ is worth a hundred thousand ascetics. Jalal al-Din Rumi[21] Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan. kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami, menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas. Akan tetapi, berhubungan dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi. Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata arafa, yuโ€™rifu, irfan, maโ€™arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan. Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafah cemas terhadap Tuhan dan mahabbah cinta.[22] Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual thariqat. Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati. Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam[23] Pertama, makrifat kalangan orang awam orang banyak pada umumnya, tauhid melalui syahadat. Kedua, makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga, makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. Dan makrifat inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini. Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya. Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syariโ€™at, hukum Allah untuk kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke dalam hakikat kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensi. Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang disebut makrifatโ€™ pengetahuan.[24] Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan usaha keras dalam waktu yang panjang.[25] Baik lewat meditasi, tazkiyatun nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik. Zybura dalam esainya mengatakan bahwa selain dari 3 tingkatan yang telah dideskripsikan dalam pencarian menuju kesatuan dengan Tuhan, ada lagi tahapan-tahapan yang lebih banyak yang secara umum dibedakan sebagai stasion station/ maqam. Pencapaian pada tiap maqam tergantung kepada perbandingan dari anak tangga-anak tangga yang kita daki dengan upaya kita sendiri, dan kondisiโ€™ state/ahwal sendiri merupakan hadiah dari Tuhan yang lebih sulit lagi untuk diklasifikasikan.[26] Untuk lebih jauh membahas mengenai makrifat ini, penulis memilih untuk memaparkannya melalui penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara. Pengetahuan Sejati dan Perbedaannya dengan Ilmu Pengetahuan Yang dimaksud dengan makrifat sebagai pengetahuan sejati/hakiki tidak sama dengan ilm yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan. Pertama-tama yang membedakannya adalah cara perolehannya dimana ilmu pengetahuan diperoleh secara hushuli melalui mediasi/representasi, tidak secara langsung. Sementara makrifat diperoleh secara hudhuri, langsung hadir dalam intuisi manusia dan dialami secara langsung. Perbedaan lainnya terletak pada objek dari pengetahuan itu sendiri. Adapun objek dari ilmu pengetahuan adalah objek-objek yang bersifat fisik, sementara objek dari makrifat kebanyakan bersifat non-fisik. Secara rincinya, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menguraikan perbedaan antara keduanya dalam tabel berikut, Dari segi objek, meskipun ilmu-ilmu rasional juga sama-sama menangkap maโ€™qulat, sebagaimana intuisi, tetapi cara di antara keduanya berbeda. Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapanโ€™ mukasyafah atau penyinaranโ€™ iluminasi dan penyaksianโ€™ musyahadah. Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.[27] Secara sederhana Mulyadhi Kartanegara memberikan analogi mengenai bahwa kepastian intuitif yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang dialami secara langsung laksana orang yang mengetahui manis dengan mencicipi butiran gula. Kita tidak dapat mengetahui rasa manis melalui pengkajian akan definisi atau konsepsi mengenai manis. Atau pun melalui membaca buku-buku tebal yang menjelaskan mengenai rasa gula maupun asal usul gula. Selama apa pun kita pelajari semua itu selama lidah kita tidak merasakannya sendiri maka kita tidak akan pernah mengetahui rasa manis yang sebenarnya. Karena manis tidak bisa kita ketahui melalui rangkaian huruf dari kata Untuk mengetahui manis maka kita harus mendatangi yang empunya manis itu sendiri gula, dan merasakannya sendiri secara langsung. Kesatuan pengetahuan dan yang diketahui dijelaskan dengan ilmu hudhuri bahwa objek diketahui secara langsung setelah dihadirkan dalam kesadaran jiwa seseorang. Ketika objek hadir dalam kesadaran diri maka objek itu dapat teridentifikasi dengan diri sendiri, ketika itu terjadi maka objek-objek itu menjadi dirinya, maka keintiman pengetahuan itu kini sama dengan terhadap diri sendiri, sementara pengetahuan tentang diri sendiri dapat kita ketahui secara langsung tanpa harus ada pemilahan antara subjek dan objek. Maka dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini merujuk pada entitas yang sama dan satu diri kita sendiri. Makrifat juga diandaikan seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan yang menyilaukan. Bagai kaca yang bersih dan selalu dibersihkan sehingga kemudian cahaya mampu memasukinya dan menerangi jantung rumah dan beriluminasi menerangi semua yang tersembunyi/ tak nampak. Analogi Rumi Makrifat bagai Mutiara di Dasar Laut Jalal al-Din Rumi pernah mengumpamakan makrifat sebagai mutiara di dalam kerang yang berada di dasar laut karena keindahannya yang membuat banyak orang menyukainya. Menurut Rumi makrifat tidak dapat diperoleh secara inderawi, karena hal itu sama saja dengan mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut dengan hanya datang dan memandangi laut dari darat. Sedangkan makrifat juga tidak bisa diperoleh melalui penggalian nalar, karena hal demikian sama saja dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu sendiri. Agar bisa mendapatkan mutiara makrifat itu, maka dibutuhkan penyelam yang ulung dan beruntung, yakni seorang mursyid yang berpengalaman. Rumi mengatakan butuh pada penyelam yang ulung dan beruntung karena pencapaian itu bergantung pada kemurahan Tuhan. Karena tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba. Menyelam di sini diartikan sebagai menyelami lubuk atau dasar hati kita yang dalam. Karena laut itu begitu dalam, maka dibutuhkan penyelam mursyid yang benar-benar professional dalam teknik penyelaman. Cara menyelam inilah yang kita sebut dengan metode intuitif. INTEGRASI ANTARA SYARIโ€™AT, TAREKAT DAN HAKIKAT Dalam pemaparan ini penulis hanya akan membahas relasi antara syariat, tarekat dan hakikat secara sepintas karena keterbatasan pemahaman yang penulis miliki. Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa Syariat berbeda dengan Tarekat, dan Tarekat berbeda dengan Hakikat. Mereka membayangkan bahwa ada perbedaan yang pasti yang melekat pada setiap level nya, kemudian mereka melekatkan hal-hal tertentu pada masing-masingnya yang mana pengatribusian itu tidaklah tepat, khususnya bagi kelompok sufi.[28] Adapun miskonsepsi ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi-kondisi spiritual yang beragam various spiritual states pada setiap levelnya dan juga kekurang pemahaman mereka akan keimanan dan prinsip-prinsip mereka sendiri. Apa yang harus diklarifikasi adalah bahwa Syariโ€™at, Tarekat maupun hakikat merupakan sinonim bagi kebenaran yang satu meskipun istilahnya berbeda-beda. Sesungguhnya pada setiap 3 level itu adalah merupakan prasyarat bagi level yang lainnya. Dan keseluruhannya satu sama lain saling terkoneksi. Adapun penjelasannya yang lebih lebar akan dikupas berdasarkan pada pandangan Sayyid Haydar Amuli mengenai koneksi antara 3 level ini. Hal yang pertama-tama mesti kita ketahui adalah bahwa ketiga nama tersebut Syariat, Tarekat maupun Hakikat merupakan aspek-aspek dari satu realitas. Yang kedua, meskipun ketiganya berasal dari realitas yang satu, tapi sangat perlu kita ketahui bahwa orang-orang hakikat lebih tinggi dari orang-orang tarekat, demikian pula orang-orang tarekat lebih tinggi dari orang-orang syariโ€™at,[29] dan tak ada penyimpangan apapun yang ditemukan dalam tingkatan tersebut. Sekedar menyebutkan kembali bahwa Syariโ€™at adalah nama dari jalan yang diberikan Tuhan yang sudah ada sebelum kehidupan manusia di dunia ini. Syariโ€™at meliputi ushul al-din dan furuโ€™ al-din, juga meliputi kewajiban-kewajiban dan petunjuk-petunjuk yang mengakui adanya tingkatan tertentu akan pilihan manusia dari segi metode atau waktu mereka dalam menjalani kewajiban-kewajiban mereka. Pun meliputi seluruh tindakan-tindakan yang paling baik di hadapan Tuhan. Sedangkan tarekat adalah jalan dari kebijaksanaan tertinggi. Jalan dari tindakan yang paling baik dan paling meyakinkan. Dengan demikian, jalan apapun yang mengantarkan manusia kepada yang terbaik dan paling meyakinkan dalam perkataan maupun tindakan, dalam karakternya yang ia peroleh, ataupun kondisi-kondisi states yang ia alami, maka disebut dengan tarekat. Hakikat adalah afirmasi akan eksistensi wujud, baik melalui penyingkapan dan penyaksian substansinya, atau dengan mengalami keadaan spiritual, atau mengafirmasi akan Ketunggalan Tuhan. Dengan demikian, Sayyid Haydar Amuli dalam Jamiโ€™ al-Asrar hendak mengatakan bahwa makna dari Syariโ€™at adalah bahwa kamu beribadah kepada-Nya, dan Tarekat adalah kamu mencapai kehadiran-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu menyaksikan-Nya.[30] Adapun Zybura menggambarkan relasi antar ketiga level dalam bagan berikut, Sudah terang dikatakan bahwa syariโ€™at berarti kamu dipertahankan dan terpelihara dalam eksistensi oleh perintah-Nya, tarekat adalah bahwa kamu melaksanakan perintah-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu ada oleh dan dalam diri-Nya. Ketiga level ini tercakup oleh syariโ€™at Islam dan sama sekali tidak di luar darinya. Allah telah mengacu kepada tiga level ini dengan frase ilm al-yaqin Kepastian Pengetahuan, ayn al-yaqin kepastian penglihatan atau pengalaman, dan haqq al-yaqin kepastian kebenaran realitas. Terdapat level-level manusia yang berbeda, yakni ada yang awam dan yang elit, dan yang elit dari yang elit Diumpamakan sebagai Permulaan Beginning, antara Intermediate, Akhir Final. Dengan demikian, Syariโ€™at adalah nama dari hukum Tuhan dan pola perilaku Nabi, dan juga merupakan permulaan. Tarekat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan intermediate dan hakikat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan akhir. Tak ada lagi tingkatan yang ada di luar dari ketiga level ini. Bagaimanapun, Syariโ€™at itu mungkin meskipun tanpa tarekat, akan tetapi tarekat tidak akan mungkin jika tanpa syariโ€™at; demikian pula, tarekat itu mungkin tanpa hakikat, tapi hakikat tanpa tarekat itu tidak mungkin. Hal ini karena setiap level itu adalah penyempurna bagi yang lainnya. Oleh karena itu, meskipun tidak terdapat kontradiksi antara tiga level tersebut, namun kesempurnaan dari Syariโ€™at hanya mungkin diperoleh melalui tarekat dan begitu pula dengan tarekat yang hanya mungkin didapatkan kesempurnaannya melalui hakikat. Deskripsi bahwa tiap level itu tidak kontradiksi dijelaskan oleh Sayyid Haidar Amuli sebagai berikut Para ahli syariโ€™at dianalogikan sebagai para Fuqahaโ€™ serta kondisi-kondisi mereka. Para ahli tarekat dianalogikan sebagai para sarjana dan filosof beserta stasion-stasion mereka. Orang-orang Hakikat dianalogikan sebagai sufi/gnostik, beserta stasion-stasion mereka.[31] Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, maka kesempurnaan dari kesempurnaan tergabung secara bersamaan dalam ketiga level. Karena jumlah dari dua hal, atau dua keadaan ketika digabungkan bersama sudah pasti lebih baik dan lebih sempurna dari pada yang dua ketika dalam keadaan terpisah. Oleh karena itu, orang-orang hakikat lebih superior dalam hubungannya dengan orang-orang syariโ€™at dan tarekat.[32] BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian singkat di atas pemakalah menyimpulkan bahwa antara syariat, tarekat, makrifat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Syariat adalah landasan awal menuju hakikat dan penyingkapan hakikat tidak menggugurkan syariat, bahkan menguatkan kebenaran syariat. Jika bertentangan maka penyingkapan tersebut diragukan, yang boleh jadi itu adalah kerjaan setan. Untuk sampai pada hakikat, maka dibutuhkan metode dan disiplin diri yang aturan dasarnya sudah ditentukan oleh syariat. Proses menuju realitas sejati hakikat inilah yang disebut tarekat. Ketika selubung hijab terbuka maka tampaklah realitas sejati, maka saat itu pula penempuh jalan spiritual memperoleh makrifat. Sebagai penutup kami nukilkan sebuah hadis yang dinukil oleh Syaikh Sayyid Haidar Amuli. Rasulullah SAW bersabda, โ€œSyariat adalah ucapanku, tarekat adalah perilakuku, hakikat adalah halku, makrifat adalah modalku, akal adalah pilar agamaku, cinta adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa takut adalah sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qanaโ€™ah adalah harta simpananku, kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah tempat kembaliku, dan kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua itu, aku memiliki keunggulan atas seluruh nabi.โ€[33] [1] Arif adalah istilah yang digunakan bagi orang yang telah mencapai maโ€™rifah hakiki. Pembahasan mengenai maโ€™rifah hakiki akan dibahas di dalam makalah pada bab berikutnya. [2] Pernyataan ini didapatkan dari potongan tulisan yang berjudul Islamic Mysticism 1 Question and Answer mengenai Prinsip-prinsip Mistisisme Teoritis. Tulisan ini merupakan bahan kuliah the study of Comparative Mysticism yang dibimbing oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. Beliau mengatakan bahwa fondasi dasar Islam adalah rukun Islam yang menjadi prinsip-prinsip dasar agama ushuluddin, sementara dalam mencapai tujuan tertinggi dalam beragama adalah dengan melalui pengetahuan dan aksi dalam akar-akar agama ushul dan cabang-cabangnya furuโ€™. Adapun yang ushul berfungsi untuk mensucikan kehidupan batin, sementara yang furuโ€™ untuk mensucikan kehidupan lahir. Maka siapapun yang memiliki keinginan untuk mensucikan diri secara lahir maupun bathin, maka harus mendirikan ushul dan furuโ€™ dalam kerangka tiga level dari Syariโ€™at, Tarekat dan Hakikat. [22] Al-Ghazali dan al-Qushairi berbeda pendapat mengenai urutan manakah yang lebih dahulu antara makrifat dan mahabbah. Al-Ghazali berpendapat bahwa kita tidak akan mampu mencintai Tuhan tanpa mengenal Tuhan terlebih dahulu, sehingga menurut al-Ghazali urutan makrifat ada di bawah mahabbah. Sementara al-Qushairi berpandangan bahwa karena kecintaan pada Allah maka melahirkan pengetahuan hakiki Ilahi Makrifat, sehingga menurut pandangan ini, Makrifat menjadi tujuan akhir dan tujuan tertinggi di atas mahabbah. Adapun pengetahuan penulis hanya terbatas pada pemaparan mengenai perbedaan ini. [31] Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, Dorset Element Books, 1989, hal. 39. [32] Ibid., hal. 36. [33] Yatsribi, Agama & Irfan Wahdat al-Wuju dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama. Diterj. Muhammad Syamsul Arif. Jakarta Sadra Press, 2011, hal. 37 Disclaimer Tulisan dari berbagai sumber, bukan karya saya semata.

SumberSyariat adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tarekat dari kata Tariqah (Arab) berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/mistisme Islam. Jadi, Tarekat adalah suatu cara/ajaran tertentu untuk lebih mengenal Hakikat. Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar

OnBlogger since November 2009 Biasanya orang yang menguasai ilmu batin tersebut di identikan sebagai orang yang memiliki khodam pendamping yang mana tugas khodam ini adalah melaksanakan tugas dari pemiliknya, tidak lain adalah Hakekat puasa dalam ilmu gaib utamanya ilmu khodam adalah untuk mempermudah penyatuan khodam dengan pemilik ilmu Cara

Doadan Ucapan untuk Orang yang Baru Pulang Haji Demi Jaga Amanah, Rambu-Rambu dalam Menyebarkan Ilmu Hakikat dan Makrifat - Alif.ID. Feeds Agregator. July 24, 2022. Di era milenial saat ini, sangat mudah untuk mengakses ilmu. Banyak para dai dan para ustadz menyebarkan ilmu lewat media sosial. Alasan mereka menyebarkan ilmu lewat media
Search Ilmu Khodam. Hakekat puasa dalam ilmu gaib utamanya ilmu khodam adalah untuk mempermudah penyatuan khodam dengan pemilik ilmu Khodam Lidah Trenggiling net_am0129-khodam-malaikat-guardian-angelic-khodam Manfaatkan segera Ilmu Khodam malaikat untuk diri anda dan keluarga Haunted Rare Ilmu Khodam & Marid Djinn Duo Spirit Servants Moondancer Originals Authentic Haunted Magick Conjured Tingkatkesadaran: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku. 3. Ilmu hakekat Haqqo artinya kebenaran. Wujud dari kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang telah memahami makna ibadah yang dilakukan, misalnya "sholat mencegah kemunkaran", makna berzakat, makna berpuasa, makna berhaji.
\n hakikat haji menurut ilmu makrifat
IlmuKhodam Malaikat Tentang ilmu khodam mungkin jadi pembahsan yang menarik apalagi untuk mereka pemerkhati dunia supranatural, khodam adalah istilah bahasa arab yang artinya pembantu, jika dalam Project 64 Mac They don't grant wishes exactly but help their keepers learn how to manifest things for themselves Khodam Macan Putih - Ada banyak
\n\n \n\nhakikat haji menurut ilmu makrifat
Sebagaicontoh, Allah subhanahu wa ta'ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
Perjalananlurus (sai) dalam ibadah haji yang tampak mengulang tujuh kali diibaratkan sebagai perjalanan yang tidak mengulang: perjalanan Hajar dari kondisi "tidak memiliki air" dan berakhir dengan kondisi "memperoleh air." Inilah hakikat perjalanan linear Hajar dalam misi menyelamatkan putranya, Ismail (al-Nah}l [16]: 120).

Akhirakhir ini kata-kata " Makrifat" sering terdengar ditelinga kaum muslimin Indonesia, tingkatan ilmu ini seringkali dipahami dengan tingkatan ilmu yang paling tinggi. Lalu apasih sebenarnya makrifat itu ?. Syaikh Haji Ahmad Rifa'i memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan makrifat yaitu " Pemandenge ati tan kesamaran Ing Alloh dzat wajibul wujud tinemune, luweh sempurno ora

7J4V.